BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya agama Islam
yang di wahyukan Allah kepada oleh Rasullah SWA, pada abad ke-7 M, menimbulkan
suatu pergerakan yang luar biasa bagi umat manusia. Islam merupakan agama yang
memberikan petunjuk bagi umat manusia yang ada di bumi dan barang siapa di
dunia ini yang berpegang teguh pada dua sumber ajaran islam yaitu; Al-Qur’an
dan Hadist maka akan bahagia, selamat dunia dan akhirat.
Proses datangnya Islam
ke Indonesia dilakukan secara terang-terang, yaitu melalui jalur perdagangan,
dakwah, kesenian dan pendidikan yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam
masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir,
tumbuh dan berkembang bersama dengan berkembanganya Islam di Aceh.
Nangroe
Aceh Darussalam merupakan daerah istimewa di Indonesia, karena Aceh terkenal
dengan keislamannya. Aceh merupakan Serambi Mekah kerena agama Islam
masuk ke nusantara melalui wilayah ini. Dengan kata lain Aceh adalah pintu
gerbang Islam Indonesia. Masyarakat Aceh terkenal dengan pemeluk Islam yang
taat, cenderung fanatik, dan mempunyai keberanian yang luar biasa.
Berdasarkan
fakta sejarah pada pertengahan abad XVII M, dalam tradisi pemikiran keagamaan di Aceh,
sejarah mencatat bahwa Ar-Raniry datang ke Aceh, kemudian menjadi penasehat
kesultanan Aceh hingga tahun 1644 M dan menjadi
ulama yang berpengaruh dalam perkembangan Intelektual Islam di Aceh,[1]
dia juga menjabat sebagai Mufti Kerajaan
Aceh Darussalam.
Adapun ajaran-ajaran
tasawuf Nurruddin Ar-Raniri
yaitu: ajaran tentang Tuhan, ajaran tentang alam, ajaran tentang
manusia, ajaran tentang wujudiyyah, ajaran tentang hubungan syari’at dan hakikat,
akan tetapi pada makalah ini penulis akan
membahas satu pokok bahasan secara mendalam yang berjudul “Nurruddin
Ar-Raniri dalam Wahdatusy-Syuhud”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Nurruddin Ar-Raniry
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah Kota Pelabuhan Tua di Pantai
Gujarat, India, nama lengkapnya adalah Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin
Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i Al-‘Aydarusi Ar-Raniri. Tahun kelahiranya tidak
diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang Akhir abad ke-16.[2]Ar-Ranir
telah wafat kurang lebih pada tahun 1658M. Ia adalah seorang sarjana India
keturunan Arab. Ranir merupakan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
berbagai bangsa, Antara lain Mesir, Turki, Arab, Persia, India, dan Indian
sendiri. dari kota inilah, para Pedagang berlayar dengan daganganya menuju ke
Pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Semenajung Melayu dan Sumatra. [3]
Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu
agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari
Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di
Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama. Jadilah orang Ranir
dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang
lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga
besar Ar-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan
Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus
mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika),
dan retorika (Balaghah). Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di
kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia, lainnya. [4]
Ar-Raniri kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1054/1644-1645,
sebagaimana yang disebutkan dalam catatan pada akhir karyanya Jawahir
Al-‘Ulum fi Kasyf Al-Ma’lum,[5] hal ini
disebabkan oleh tradisi penting istana pada masa pemerintahan ratu Safiatuddin yaitu
terjadinya peristiwa debat masalah teologi antara Ar-Raniri dan Syaf Ar-Rijal
murid Syamsuddin yang menyebabkan Ar-Raniri kalah dari perdebatan tersebut, dan
dimenangkan oleh syaf Ar-Rijal, dan ini bermakna hilangnya dukungan istana
terhadap Ar-Raniri.[6]
Adapun karya-karya Nurruddin Ar-Raniry yaitu Bustan as Salatin
fi Dzikir al Awwalin wal akhirin yang lebih dikenal dengan Bustan as
Salatin (taman raja) yang merupakan karya besar pujangga Nuruddin, Tajus
Salatin (mahkota raja-raja), keduanya banyak berisis nasihat, dzikir. As-Sirath
al-Mustaqim (jalan lurus) berisi ilmu fikih. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al
Ma’lum, berisi ilmu fikih dan tasawuf. Asrar al-Insan fi Ma’rifat ar-Ruh
Waar Rahman, Berisi masalah ruh dan ghaib yang dihubungkan dengan ilmu
Tasawuf.[7]
Dari uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Ar-Raniri memiliki nama lengkap Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i
Al-‘Aydarusi Ar-Raniri, dilahirkan di Ranir, ia kembali ke kota kelahirannya
pada tahun 1054/1644-1645 dan wafat kurang lebih pada tahun 1658M, Ar-Raniri ini merupakan ulama pengembang Intelektual Islam di Aceh, Mufti, serta penulis
produktif.
B. Jaringan Intelektual
Jejak-jejak Intelektual Ar-Raniri sendiri memulai perjalanan
intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya sendiri di Ranir ia mulai belajar Ilmu Agama dan kemudian melanjutkan pelajaranya
ke Arab Selatan, yang dipandang sebagai pusat studi Ilmu Agama Islam pada waktu
itu. Pada tahun 1621M,[8] ia
menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji dan mengunjungi makam
Nabi. Ketika
Ar-Raniri di tanah haram sedang menunaikan
Ibadah Haji inilah ia menjalin hubungan dengan
para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang
kebetulan berasal dari wilayah Nusantara. [9]
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan
telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal
komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula
bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari. Dalam
perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa’iyyah,
yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini
melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban
dari Tarim,[10]
atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. [11]
Ketika ia menetap di Pahang ataupun setelah beliau pindah ke Aceh,
banyak penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang
berasal dari India itu, akan tetapi, belum dijumpai tulisan yang menyatakan
nama murid-murid Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, secara lengkap. Dari sekian banyak
buku sejarah hanya dua orang yang disebutkan, yaitu: Syeikh Yusuf Tajul
Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak
begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh
Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh ataupun Syeikh Yusuf datang
menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain
menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri sewaktu masih ia di Aceh, dan Syeikh Yusuf Tajul
Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri.
Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
C. Pemikiran Ar- Ranir
Pada abad ke 17, di kerajaan Aceh terdapat empat ulama besar silih
berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani keduanya
merupakan tokoh ahli Tasawuf yang beraliran Wahdatul Wujud (Aliran
Wujudiyah) mereka mengajarkan semacam sinkretisme antara Allah (Khalik)
dengan manusia (Makhluk). Ulama ketiga di Aceh Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang
sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya, kemudian kempat yaitu Abdur Rauf
As-Singkili yang nantinya berusaha mengambil jalan tengah pertentangan antara
pengikut Nuruddin dengan kedua pengikut ulama terdahulu. Syekh Hamzah Fansuri
dan Syekh Syamsuddin yang juga guru Syekh Abdurrauf, walau pendapat dalam
bidang tasawufnya berbeda.[12]
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar
Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda
beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas. Oleh sebab ketegasan dan
keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri menguasai berbagai-bagai
bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik
ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana ia mendapat sokongan
sepenuhnya daripada sultan. Ia memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika)
dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikih, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
adalah penganut Mazhab Syafi’, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran
mazhab-mazhab yang lainnya.
Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan
Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf adalah pengikut
tasawuf yang mu’tabarah dan pengamal dari berbagai thariqah sufiyah, tetapi suatu
perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menentang habis-habisan Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani dikarenakan doktrin wujudiyah
mereka ajarkan .Dari segi tasawuf ini Ar-Raniri mengikuti paham Wahdatus
Syhud, yaitu menunggalnya makhluk dengan khalik bukan dalam wujud, tetapi
hanya dalam kesaksian, paham ini sama dengan pandangan kalangan sufi sunni.[13]
Menurut pendapatnya, Islam wilayah aceh telah dikacaukan oleh
kesalahpahaman atas doktrin sufi yaitu doktrin Wahdatul wujud (Menyatunya
Kewujudan), sehingga melalui kedudukannya yang tinggi dan strategis ini, ia
mulai melancarkan “pembaruan Islam” di Aceh dan ia merupakan pembaharu utama dalam memberantas aliran Wahdatul
Wujud. Selama tujuh tahun di Aceh ia
mencurahkan waktunya untuk meluruskan pemahaman mengenai doktrin wujudiyah ini.
[14]
Dia melangkah lebih jauh dalam pembaharuannya pada satu kesempatan
dan didukung oleh Sultan, Ar-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40
ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini
kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukum
kafir (orang-orang sesat) terhadap para pengikut paham wujudiyyah (Wahdatul
Wujud), sehingga boleh dibunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinan
dan meninggalkan praktik-praktik sesat mereka, bahkan boleh membakar hingga
menjadi abu seluruh buku mereka, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan
sultan.[15]
Menurut Ar-Raniri jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah
seluruh mahluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau
baik, Allah turut serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu
mempunyai sifat-sifat Tuhan. Oleh karena itu Ar-Raniri habis-habisan menolak
pemikiran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, hal ini
dilakukan melalui khutbah-khutbahnya, juga tertuang di dalam kitab-kitab
karanganya yang kurang lebih berjumlah 30 judul. Kitab-kitab tersebut antara
lain berjudul Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Ma’ul-Chaya li Ahli-Mamat,
Fatchul-Mubin ‘alal-Mulchidin, Chujjatus-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, Syifaul-Qulub,
Jawahirul-‘Ulum fi kasyil-Ma’lum, Chilluzh-Zhill, dan lain sebagainya.[16]
Maka dari uraian di atas mengenai pemikiran Ar-Raniri maka dapat
disimpulkan bahwa Ar-Raniri mengikuti paham Wahdatus Syhud, yaitu Tuhan
dan mahluk pada hakikatnya berbeda, wujud Tuhan tidak menyatu dengan manusia,
maka Ar-Raniri menentang paham Wahdatul Wujud yang dipelopori oleh
Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani, karena jika wujud tuhan
menyatu dengan manusia, maka Tuhan adalah manusia dan jadilah Tuhan sebagai
seluruh mahluk, serta semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Tuhan
turut serta melakukanya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan.
D.
Peran Ar-Raniri
Ar-Raniri yang kita
kenal benar-benar orang yang bermartabat tinggi, ia merupakan seorang sufi,
ahli teolog, faqih, ia juga merupakan seorang sejarawan dan politisi,[17] ia berperan
penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf
falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam
terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran al-Hallaj,
Ibnu Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wahdatul wujud (Menyatunya
Kewujudan). [18]
Ar-Raniri merupakan
ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah
dan benar, ia yang mengemukan fatwa pengkafiranya terhadap wujudiyah “sesat”di
Nusantara tidak hanya dalam khutbah-khutbah tetapi juga di dalam karya-karyanya
seperti Tibyan fi ma’rifat al-Adyan, Hill al-Zill, Jawahir al-Ulum fi Kasyf
al-Ma’lum, Hujjat al-Shiddiq li Daf’il al-Zindiq dan Ma’al-Hayah li Ahl
al-Mamat. Inti penentangan al-Raniri dapat diringkas sebagai berikut Hamzah
Fansuri dan muridnya dianggap sesat karena berpendapat bahwa alam, manusia, dan
Tuhan itu sama saja.[19]
Ar-Raniri juga memaikan
berperan penting bukan hanya dalam menjelaskan kepada kaum Muslim
Melayu-Indonesia dasar-dasar pokok keimanan dan ibadah saja, tetapi juga dalam
mengungkap kebenaran Islam dalam suatu perpektif perbandingan antar agama-agama lain. [20]Ia juga
merupakan ulama yang menyubang aspek sejarah dalam mengembangkan ajaran Islam
di Nusantara dan sangat berpengaruh dalam konteks universal, selain itu ia juga
menyubangkan banyak aspek ilmu pengetahuan melalui karya-karyanya, ia juga
berperan untuk mendorong lebih jauh perkembangan bahasa melayu sebagai Lingua
Franca di wilayah melayu dan indonesia sehingga ia diklaim seorang pujangga
melayu ternama. [21]
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa ulasan di
atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah Kota Pelabuhan Tua Di Pantai
Gujarat, India, nama lengkapnya adalah Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin
Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i Al-‘Aydarusi Ar-Raniri, ia dilahirkan di Ranir
kemungkinan pada akhir abad ke-16, ia kembali ke kota kelahirannya pada tahun
1054/1644-1645 dan wafat kurang lebih pada tahun 1658M, Ar-Raniri ini merupakan ulama pengembang Intelektual Islam di Aceh, Mufti, serta penulis
produktif.
2. Jejak-jejak Intelektual Ar-Raniri sendiri memulai perjalanan
intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya sendiri di Ranir ia mulai belajar Ilmu Agama dan kemudian melanjutkan pelajaranya
ke Arab Selatan, yang dipandang sebagai pusat studi Ilmu Agama Islam pada waktu
itu. Pada tahun 1621M.
3.
Ar-Raniri
mengikuti paham Wahdatus Syhud, yaitu Tuhan dan mahluk pada hakikatnya
berbeda, wujud Tuhan tidak menyatu dengan manusia, maka Ar-Raniri menentang paham Wahdatul Wujud
yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani,
karena jika wujud tuhan menyatu dengan manusia, maka Tuhan adalah manusia dan
jadilah Tuhan sebagai seluruh mahluk, serta semua yang dilakukan manusia, baik
buruk atau baik, Tuhan turut serta melakukanya, maka manusia mampu mempunyai
sifat-sifat Tuhan.
4. Peran Al-Raniri diantaranya ia merupakan ulama pertama yang membedakan
penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar, Ar-Raniri berhasil
memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang
dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam, Ia juga merupakan ulama yang
menyubang aspek hitoris (sejarah) dalam mengembangkan ajaran Islam di
Nusantara, selain itu ia juga menyubangkan banyak aspek ilmu pengetahuan
melalui karya-karyanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Hadi, 2001. Tasawuf
Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina.
Amirul Hadi, 2010. Sejarah, Budaya
dan Tradisi, ed 1, Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia.
Azyumardi Azra, 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, Bandung: Mizan.
Azyumardi Azra, 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana.
Munawiyah dan
Mira Fauziah, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh: Bandar
Publising
Muhammad
syamsu, 1999. Ulama Pembawa Islam di Indonesia, Jakarta: Lentera.
M. Bibit Suprapto,
2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media Indonesia.
[1]
Amirul Hadi, Sejarah,
Budaya dan Tradisi, ed 1, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia, 2010), h.
158-163.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan 1995), h. 169.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta:Kencana, 2007), h. 203.
[5]
Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah..., (Mizan Bandung 1995), h. 180.
[6]
Amirul Hadi, Sejarah,
Budaya..., ed. 1, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia, 2010), h.160.
[7] Munawiyah dan
Mira Fauziah, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising,
2009), h. 224.
[8]Muhammad
syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, (Jakarta: Lentera 1999), h.10.
[10] Muhammad
syamsu, Ulama Pembawa..., (Jakarta:
Lentera 1999), h.10.
[12]
M Bibit
Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h.
665.
[13] M Bibit Suprapto,
Ensiklopedi Ulama Nusantara..., (Jakarta:Gelegar Media Indonesia, 2009), h.
665.
[14]Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 177.
[16]
Abdul Hadi, Tasawuf Yang
Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.163-164.
[17] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 186.
[18] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 185.
[19] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 186.
[20] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 187.
[21] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar