Jumat, 04 Desember 2015

Nuruddin Ar-Raniry dalam wahdatul syuhudnya

BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya agama Islam yang di wahyukan Allah kepada oleh Rasullah SWA, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu pergerakan yang luar biasa bagi umat manusia. Islam merupakan agama yang memberikan petunjuk bagi umat manusia yang ada di bumi dan barang siapa di dunia ini yang berpegang teguh pada dua sumber ajaran islam yaitu; Al-Qur’an dan Hadist maka akan bahagia, selamat dunia dan akhirat.
Proses datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara terang-terang, yaitu melalui jalur perdagangan, dakwah, kesenian dan pendidikan yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersama dengan berkembanganya Islam di Aceh.
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah istimewa di Indonesia, karena Aceh terkenal dengan keislamannya. Aceh merupakan Serambi Mekah kerena agama Islam masuk ke nusantara melalui wilayah ini. Dengan kata lain Aceh adalah pintu gerbang Islam Indonesia. Masyarakat Aceh terkenal dengan pemeluk Islam yang taat, cenderung fanatik, dan mempunyai keberanian yang luar biasa.
Berdasarkan fakta sejarah pada pertengahan abad XVII M,  dalam tradisi pemikiran keagamaan di Aceh, sejarah mencatat bahwa Ar-Raniry datang ke Aceh, kemudian menjadi penasehat kesultanan Aceh hingga tahun 1644 M dan menjadi ulama yang berpengaruh dalam perkembangan Intelektual Islam di Aceh,[1] dia juga menjabat sebagai  Mufti   Kerajaan   Aceh   Darussalam. 
Adapun  ajaran-ajaran  tasawuf  Nurruddin Ar-Raniri yaitu: ajaran tentang  Tuhan, ajaran tentang  alam, ajaran tentang manusia, ajaran tentang wujudiyyah, ajaran tentang hubungan syari’at dan hakikat, akan tetapi pada makalah ini penulis akan membahas satu pokok bahasan secara mendalam yang berjudul “Nurruddin Ar-Raniri dalam Wahdatusy-Syuhud”.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi Nurruddin Ar-Raniry
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah Kota Pelabuhan Tua di Pantai Gujarat, India, nama lengkapnya adalah Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i Al-‘Aydarusi Ar-Raniri. Tahun kelahiranya tidak diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang Akhir abad ke-16.[2]Ar-Ranir telah wafat kurang lebih pada tahun 1658M. Ia adalah seorang sarjana India keturunan Arab. Ranir merupakan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa, Antara lain Mesir, Turki, Arab, Persia, India, dan Indian sendiri. dari kota inilah, para Pedagang berlayar dengan daganganya menuju ke Pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Semenajung  Melayu dan Sumatra. [3]
Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama. Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Ar-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq (logika), dan retorika (Balaghah). Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya. [4]
Ar-Raniri kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1054/1644-1645, sebagaimana yang disebutkan dalam catatan pada akhir karyanya Jawahir Al-‘Ulum fi Kasyf Al-Ma’lum,[5] hal ini disebabkan oleh tradisi penting istana pada masa pemerintahan ratu Safiatuddin yaitu terjadinya peristiwa debat masalah teologi antara Ar-Raniri dan Syaf Ar-Rijal murid Syamsuddin yang menyebabkan Ar-Raniri kalah dari perdebatan tersebut, dan dimenangkan oleh syaf Ar-Rijal, dan ini bermakna hilangnya dukungan istana terhadap Ar-Raniri.[6]
Adapun karya-karya Nurruddin Ar-Raniry yaitu Bustan as Salatin fi Dzikir al Awwalin wal akhirin yang lebih dikenal dengan Bustan as Salatin (taman raja) yang merupakan karya besar pujangga Nuruddin, Tajus Salatin (mahkota raja-raja), keduanya banyak berisis nasihat, dzikir. As-Sirath al-Mustaqim (jalan lurus) berisi ilmu fikih. Jawahir al-Ulum fi Kasyf al Ma’lum, berisi ilmu fikih dan tasawuf. Asrar al-Insan fi Ma’rifat ar-Ruh Waar Rahman, Berisi masalah ruh dan ghaib yang dihubungkan dengan ilmu Tasawuf.[7]
            Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Ar-Raniri memiliki nama lengkap Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i Al-‘Aydarusi Ar-Raniri, dilahirkan di Ranir, ia kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1054/1644-1645 dan wafat kurang lebih pada tahun 1658M, Ar-Raniri ini merupakan ulama pengembang Intelektual Islam di Aceh, Mufti, serta penulis produktif.

B. Jaringan Intelektual
Jejak-jejak Intelektual Ar-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya sendiri di Ranir ia mulai belajar Ilmu Agama dan kemudian melanjutkan pelajaranya ke Arab Selatan, yang dipandang sebagai pusat studi Ilmu Agama Islam pada waktu itu. Pada tahun 1621M,[8] ia menuju Makkah dan Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji dan mengunjungi makam Nabi. Ketika Ar-Raniri di tanah haram sedang menunaikan Ibadah Haji inilah ia menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara. [9]
Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari. Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Basyaiban dari Tarim,[10] atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. [11]
Ketika ia menetap di Pahang ataupun setelah beliau pindah ke Aceh, banyak penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, akan tetapi, belum dijumpai tulisan yang menyatakan nama murid-murid Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, secara lengkap. Dari sekian banyak buku sejarah hanya dua orang yang disebutkan, yaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh ataupun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin Ar-Raniri sewaktu masih ia di Aceh, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.

C. Pemikiran Ar- Ranir
Pada abad ke 17, di kerajaan Aceh terdapat empat ulama besar silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani keduanya merupakan tokoh ahli Tasawuf yang beraliran Wahdatul Wujud (Aliran Wujudiyah) mereka mengajarkan semacam sinkretisme antara Allah (Khalik) dengan manusia (Makhluk). Ulama ketiga di Aceh Syekh Nuruddin Ar-Raniri yang sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya, kemudian kempat yaitu Abdur Rauf As-Singkili yang nantinya berusaha mengambil jalan tengah pertentangan antara pengikut Nuruddin dengan kedua pengikut ulama terdahulu. Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin yang juga guru Syekh Abdurrauf, walau pendapat dalam bidang tasawufnya berbeda.[12]
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas. Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana ia mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Ia memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikih, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafi’, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya.
Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf adalah pengikut tasawuf yang mu’tabarah dan pengamal dari berbagai thariqah sufiyah, tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menentang habis-habisan Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani dikarenakan doktrin wujudiyah mereka ajarkan .Dari segi tasawuf ini Ar-Raniri mengikuti paham Wahdatus Syhud, yaitu menunggalnya makhluk dengan khalik bukan dalam wujud, tetapi hanya dalam kesaksian, paham ini sama dengan pandangan kalangan sufi sunni.[13]
Menurut pendapatnya, Islam wilayah aceh telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi yaitu doktrin Wahdatul wujud (Menyatunya Kewujudan), sehingga melalui kedudukannya yang tinggi dan strategis ini, ia mulai melancarkan “pembaruan Islam” di Aceh dan ia merupakan pembaharu utama dalam memberantas aliran Wahdatul Wujud. Selama tujuh tahun di Aceh ia mencurahkan waktunya untuk meluruskan pemahaman mengenai doktrin wujudiyah ini. [14]
Dia melangkah lebih jauh dalam pembaharuannya pada satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Ar-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukum kafir (orang-orang sesat) terhadap para pengikut paham wujudiyyah (Wahdatul Wujud), sehingga boleh dibunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik-praktik sesat mereka, bahkan boleh membakar hingga menjadi abu seluruh buku mereka, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.[15]  
Menurut Ar-Raniri jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan. Oleh karena itu Ar-Raniri habis-habisan menolak pemikiran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani, hal ini dilakukan melalui khutbah-khutbahnya, juga tertuang di dalam kitab-kitab karanganya yang kurang lebih berjumlah 30 judul. Kitab-kitab tersebut antara lain berjudul Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Ma’ul-Chaya li Ahli-Mamat, Fatchul-Mubin ‘alal-Mulchidin, Chujjatus-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, Syifaul-Qulub, Jawahirul-‘Ulum fi kasyil-Ma’lum, Chilluzh-Zhill, dan lain sebagainya.[16]
Maka dari uraian di atas mengenai pemikiran Ar-Raniri maka dapat disimpulkan bahwa Ar-Raniri mengikuti paham Wahdatus Syhud, yaitu Tuhan dan mahluk pada hakikatnya berbeda, wujud Tuhan tidak menyatu dengan manusia, maka Ar-Raniri menentang paham Wahdatul Wujud yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani, karena jika wujud tuhan menyatu dengan manusia, maka Tuhan adalah manusia dan jadilah Tuhan sebagai seluruh mahluk, serta semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Tuhan turut serta melakukanya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan.

D.  Peran Ar-Raniri
Ar-Raniri yang kita kenal benar-benar orang yang bermartabat tinggi, ia merupakan seorang sufi, ahli teolog, faqih, ia juga merupakan seorang sejarawan dan politisi,[17] ia berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wahdatul wujud (Menyatunya Kewujudan). [18]
Ar-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar, ia yang mengemukan fatwa pengkafiranya terhadap wujudiyah “sesat”di Nusantara tidak hanya dalam khutbah-khutbah tetapi juga di dalam karya-karyanya seperti Tibyan fi ma’rifat al-Adyan, Hill al-Zill, Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Hujjat al-Shiddiq li Daf’il al-Zindiq dan Ma’al-Hayah li Ahl al-Mamat. Inti penentangan al-Raniri dapat diringkas sebagai berikut Hamzah Fansuri dan muridnya dianggap sesat karena berpendapat bahwa alam, manusia, dan Tuhan itu sama saja.[19]
Ar-Raniri juga memaikan berperan penting bukan hanya dalam menjelaskan kepada kaum Muslim Melayu-Indonesia dasar-dasar pokok keimanan dan ibadah saja, tetapi juga dalam mengungkap kebenaran Islam dalam suatu perpektif  perbandingan antar agama-agama lain. [20]Ia juga merupakan ulama yang menyubang aspek sejarah dalam mengembangkan ajaran Islam di Nusantara dan sangat berpengaruh dalam konteks universal, selain itu ia juga menyubangkan banyak aspek ilmu pengetahuan melalui karya-karyanya, ia juga berperan untuk mendorong lebih jauh perkembangan bahasa melayu sebagai Lingua Franca di wilayah melayu dan indonesia sehingga ia diklaim seorang pujangga melayu ternama. [21]






BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa ulasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah Kota Pelabuhan Tua Di Pantai Gujarat, India, nama lengkapnya adalah Nurrudin Muhhammad bin Ali, bin Hasanjin Al-Hamid (Al-Humaydi) As-Syafi’i As-Syafi’i Al-‘Aydarusi Ar-Raniri, ia dilahirkan di Ranir kemungkinan pada akhir abad ke-16, ia kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1054/1644-1645 dan wafat kurang lebih pada tahun 1658M, Ar-Raniri ini merupakan ulama pengembang Intelektual Islam di Aceh, Mufti, serta penulis produktif.
2.    Jejak-jejak Intelektual Ar-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya sendiri di Ranir ia mulai belajar Ilmu Agama dan kemudian melanjutkan pelajaranya ke Arab Selatan, yang dipandang sebagai pusat studi Ilmu Agama Islam pada waktu itu. Pada tahun 1621M.
3.    Ar-Raniri mengikuti paham Wahdatus Syhud, yaitu Tuhan dan mahluk pada hakikatnya berbeda, wujud Tuhan tidak menyatu dengan manusia, maka  Ar-Raniri menentang paham Wahdatul Wujud yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani, karena jika wujud tuhan menyatu dengan manusia, maka Tuhan adalah manusia dan jadilah Tuhan sebagai seluruh mahluk, serta semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Tuhan turut serta melakukanya, maka manusia mampu mempunyai sifat-sifat Tuhan.
4.    Peran Al-Raniri diantaranya ia merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar, Ar-Raniri berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam, Ia juga merupakan ulama yang menyubang aspek hitoris (sejarah) dalam mengembangkan ajaran Islam di Nusantara, selain itu ia juga menyubangkan banyak aspek ilmu pengetahuan melalui karya-karyanya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, 2001. Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina.
 
Amirul Hadi, 2010. Sejarah, Budaya dan Tradisi, ed 1, Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia.

Azyumardi Azra, 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, Bandung: Mizan.

Azyumardi Azra, 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana.

Munawiyah dan Mira Fauziah, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh: Bandar Publising

Muhammad syamsu, 1999. Ulama Pembawa Islam di Indonesia, Jakarta: Lentera.

M. Bibit Suprapto, 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara,  Jakarta: Gelegar Media Indonesia.




[1] Amirul Hadi, Sejarah, Budaya dan Tradisi, ed 1, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 158-163.

[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan 1995), h. 169.

[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., (Mizan Bandung 1995), h. 17.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta:Kencana, 2007),  h. 203.

[5] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., (Mizan Bandung 1995), h. 180.

[6] Amirul Hadi, Sejarah, Budaya..., ed. 1, (Jakarta: Yayasan pustaka Obor Indonesia, 2010), h.160.

[7] Munawiyah dan Mira Fauziah, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), h. 224.

[8]Muhammad syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia,  (Jakarta: Lentera 1999), h.10.
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur, (Jakarta:Kencana, 2007), h. 203.

[10] Muhammad syamsu, Ulama Pembawa...,  (Jakarta: Lentera 1999), h.10.
[11] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Jakarta:Kencana, 2007), h. 203.

[12] M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara,  (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 665.

[13] M Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara..., (Jakarta:Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 665.

[14]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 177.
                                                                                                             
[15]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 177.

[16] Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.163-164.

[17] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 186.

[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 185.

[19] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 186.

[20] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 187.

[21] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur..., (Bandung: Mizan 1995), h. 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 11.  Surat Apakah di dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang keesaan Allah swt? a.     al-‘Ashr b. ...