Selasa, 02 Februari 2016

Asal muasal kapal amat rahang manyang

Asal Muasal Kapal Amat Rhang Manyang
Sebuah Cerita Lagenda Rakyat Aceh Besar

Oleh: NISA KHAIRUNI
NIM: 271523742


Kisah ini di mulai dari sebuah Kampung Pasie, yang berdekatan dengan Paya Senara daerah Krueng Raya, Lamreh Aceh Besar, di pantai Ujong Batee Kapai Amat Rhang Manyang, Nanggore Aceh Darussalam. Pada zaman dahulu di desa inilah hidup sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki, anak laki-laki ini sering dipanggil Agam (dalam istiadat Aceh, panggilan Agam merupakan panggilan untuk anak laki-laki) dialah yang bernama Amat.
 Mereka merupakan keluarga yang sangat miskin, pekerjaan sehari-harinya adalah mengolah sabut dan garam. Menurut cerita orang desa “keureuna buet ayah si Amat lage ̀e nyan rupa, ureueng nyan udep lam gasien sab(e)’. Breueh nyang na di rumoh cit se ́p keu siuroe pajo ̂h. Ija ngo ̈n baje ̀e geungui ka be ́h beukah hingga ka peunoh ngo ̈n seunampai”. Selain itu dalam sebuah syair juga dikisahkan mengenai makanan yang sehari-hari di makan oleh si Amat yaitu “boh manok siblah, kuah o ̂n muro ̂ng...”
Kendatipun mereka adalah keluaga yang sangat miskin kasih sayang kedua orang tua si Amat selalu tercurah kepadanya, sebab ia adalah anak tunggal satu-satunya. Mereka selalu ingin memberikan kecukupan untuk anak mereka, sebagaimana kebanyakan anak-anak orang lain. Tetapi, apa hendak dikata, maksud hati ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai. berbagai usaha lain sudah dicoba oleh bapak si Amat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, tetapi tetap tidak berhasil.
Mereka yang tidak memiliki modal apapun kecuali tenaga dan kemauan. Dalam keadaan seperti inilah orang tuanya selalu memasrahkan diri kepada Allah. Setiap selesai shalat, mereka selalu berdoa setidaknya untuk anaknya,  “Ya Allah berikanlah kehidupan yang lebih layak untuk si Amat, sehingga ia dapat dijadikan payung saat hujan, kayu rimbun tempat berteduh bagi kami di hari tua”. Namun hal itu tidak dapat dirasakan, malah ketika Amat berumur lima tahun, bapaknya meninggal dunia, sehingga tinggalah si Amat dan ibunya.
Ketika bapak si Amat meninggal, ia tidak meninggalkan warisan sekalipun kecuali sebuah gubuk tireh (bocor), rencong beserta anaknya si Amat yang perutnya setiap hari harus di isi. Kemudian segumpal cita-cita dan doa untuk kebahagiaan mereka di kemudian hari. Di penghujung tangis yang berkepanjangan karena iman dan taqwa, maka timbullah kembali kesadaran bahwa semua itu adalah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga bulatlah tekat dan cita-cita untuk tetap berusaha dengan kemampuan yang ada.
 Kemudian Amat diserahkan kepada Teungku Meunasah untuk belajar mengaji bersama anak-anak yang lainnya di kampung tersebut. Pada dasarnya, ia anak yang rajin dan pandai, serta cepat tanggap. Namun ketika Amat mengaji ia sering dihina oleh teman-temannya karena pakaiannya compang-camping penuh tambalan, ia pun menangis sambil ia pulang ke rumah. Ketika Ibunya mengetahui semua kejadian ini, ibunya berusaha untuk tersenyum  kemudian si ibu memeluk dan mengusap air mata anaknya.
Menjelang tidur malam hari, ibu menjelaskan mengenai balasan dari Allah, misalnya mengenai sifat tidak baik, pada akhirnya akan mendapatkan balasan yang tidak baik pula. Ibu sering juga mendongengkan sesuatu diantaranya dongeng anak durhaka yang pada akhir ceritanya dapat malapetaka. Semua cerita itu diharapkan ibunya, agar dapat dihayati si Amat sebagai contoh bahwa perilaku yang baik tidak bergantung terhadap pakaian yang baik atau buruk, hingga akhirnya ia lelap. Kemudian dari hari ke hari, dari tahun ketahun Amat menjadi remaja.
Ketika ia Remaja ia membantu ibunya dengan segenap tenaga yang ada padanya, namun walaupun begitu kehidupan mereka tidak banyak berubah, masih tergolong miskin dan melarat. hingga sampai pada suatu hari Amat dan kawan-kawannya pergi kesebuah pelabuhan samudera atau pelabuhan besar yang terletak di Krueng Raya pelabuhan merupakan tempat mengirimkan barang  dengan hasil daerah Aceh ke luar negeri, tempat ini juga memasukkan barang-barang dagangan dari luar negeri untuk kebutuhan rakyat. Diantaranya ada yang bentuk kapalnya indah sekali, inilah yang dilihat setiap hari oleh Amat dan kawan-kawannya di pelabuhan.
Hal inilah yang mereka selalu berbicarakan dan mereka menceritakan kepada kawan-kawan yang lain dikampungnya, bahkan ada di antara mereka menceritakan kepada orang tua. Berbeda dari yang lain, Amat tidak hanya ikut-ikutan bercerita, namun lambat laun menyusup ke hati sanubarinya keinginan untuk menjadi nahkoda atau kelasi, jika keinginannya tercapai tentu kehidupan bersama ibunya akan berubah menjadi lebih baik. Keinginannya ini tidak pernah diceritakannya kepada siapapun, tidak juga kepada ibunya.
Sampai-sampai Amat sering pada malam harinya tidak dapat tertidur lelap. Bayangan dan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu menggodanya. Ia akan mengharungi lautan luas. menjelajahi berbagai negeri. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan diperjalanan tentu ia akan pulang ke kampungnya dan akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya, bahkan lebih dari itu, ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra di ambang pintu.
Pada suatu hari di pelabuhan Amat berusaha dan memberanikan diri menemui seorang pegawai pelabuhan, orang kampungnya sendiri yang ia kenal baik hati yang dipanggil dengan panggilan Pak Agam. Kebetulan Pak Agam keluar daerah pelabuhan hendak sembahyang dhuhur di Mesjid tidak jauh dari pelabuhan. Keadaan di pelabuhan agak sepi. Pekerja-pekerjanya sebahagian besar sedang istirahat dan makan siang. Diantaranya ada yang sedang melaksanakan shalat dhuhur juga. Amat menghampiri Pak Agam dengan hati berdebar dan ragu-ragu.
Lalu dengan sikap hormat Amat menyapanya: Pak Agam !” Langkah Pak Agam tertegun, sambil menoleh ke arahnya “Kau Amat, ada apa nak ?” Amat lebih mendekat. Hampir seperti berbisik seakan-akan gagap Amat menyampaikan maksudnya. “A. ...Anu Pak ! Sa...Saya ingin ikut salah satu kapal itu”, sambil menunjuk ke pelabuhan dan menandakan kapal. ,,Ha, H a....Ha! Pak Agam tertawa terbahak-bahak, mana mungkin nak, tentu kamu tidak mampu membayar ongkos”.
Karena mendapat layanan dalam percakapan itu, Amat menjadi lebih berani dan lancar mengeluarkan suaranya. “Maksud saya Pak, saya ingin bekerja pada kapal itu”. “Wah, Menurut bapak umurmu masih terlalu muda nak, kamu belum mampu bekerja berat di kapal.” Amat terdiam dan merasa kecewa. “Bapak mau sembahyang dulu”, kata Pak Agam, lalu iapun meninggalkan Amat yang masih tegak terpaku.
Sejak saat itu Amat menjadi pemurung. Sudah jarang ia bersama kawan-kawannya, begitu juga dengan ibunya di rumah tidak lagi sebijak biasa. Sikapnya menjadi lamban. Dalam mengaji sering salah, di hadapan kawan-kawannya ia berusaha berbuat seperti biasa, tetapi seperti dipaksakannya. Teuku Meunasah gurunya mengaji, kawan-kawan serta ibunya di rumah merasa heran, mengapa Amat akhir-akhir ini banyak berubah. Tidak seorangpun tahu sebab musabab kemurungan Amat. Waktu tidur ia selalu gelisah.
Ketika pertemuannya yang pertama Pak Agam merasa kasihan jika anak semuda itu harus bekerja berat di kapal. Tetapi Pak Agam kagum sekali terhadap cita-citanya yang sudah demikian tinggi dalam usia semuda itu. Terbayang di benak Pak Agam kehidupan keluarga Amat sejak dulu. Apa lagi setelah Amat menjadi yatim serta ibunya tetap janda. Kehidupan keluarganya menjadi lebih sulit lagi. Kemudian pak Agam mempertimbangkan permintaan anak itu, mungkin permintaan anak itu justru menjadi permulaan untuk memperbaiki kehidupan beserta ibunya.
Setelah itu secara diam-diam Pak Agam berusaha memenuhi keinginan Amat. Namun ada kesangsiannya terutama kalau tidak ada nakhoda yang mau menerimanya, karena umur Amat masih terlalu muda. Suatu petang Amat dikejutkan oleh panggilan Pak Agam : “Mat, mari dulu !” Amat menghampiri Pak Agam setengah berlari. “Ikut Bapak !” Lalu Amat diperkenalkan oleh Pak Agam kepada seorang nakhoda yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang temannya dalam sebuah kamar di kantor pelabuhan.
Kemudian dengan langkah tertegun-tegun dan muka sedikit pucat Amat memasuki ruangan itu. Orang-orang di luar kantor memperhatikan Amat masuk dengan penuh tanda tanya. “Inilah anak yang kumaksudkan kemarin, kata Pak Agam memulai pembicaraannya.”Hm”, sambil mendesis nakhoda memperhatikan Amat dari ujung rambut sampai ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang. Nakhoda menilai, dari raut muka Amat adalah anak baik, jujur dan keras hati. Perawakannya cukup tampan. Ketika itu Amat merasa malu, kepalanya menunduk.
Kemudian terjadilah tanya jawab dan percakapan antara nakhoda, Amat dan Pak Agam, yang pada pokoknya berkisar pada kehidupan keluarga Amat beserta ibunya sampai kepada keinginannya bekerja di kapal. “Kalau maksudmu benar-benar hendak membantu ibumu aku bersedia menerimamu bekerja di kapal, dan kamu boleh turun ke darat, di daerah yang disinggahi kapalku, kata nakhoda. Seperti meledak rasanya dada Amat, karena sangat gembira. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih. Pak Agam juga merasa gembira dan bahagia usahanya membantu Amat berhasil dan tersenyum seakan-akan tak habis-habisnya.
Lalu Amat segera menyampaikan halnya kepada ibunya. Ibunya terkejut sekali, mengapa selama ini tidak pernah diceritakannya. Ibunya membujuk agar Amat membatalkan maksudnya. “Amat, anakku, bagaimana ibu dapat melepasmu?; haruskah Ananda merantau meninggalkan ibumu disini sendiri, dalam kesepian dan dalam kepapaan?; engkaulah anakku satu-satunya. Engkaulah tempatku bergantung di hari tua. Tidak ada sanak famili yang mau mengasuh ibu yang melarat ini!”. Sambil memeluk Amat ibunya menyampaikan keluhannya dengan kata tersendat-sendat dan air mata bercucuran.
Amatpun demikian pula menangis sejadi-jadinya dan membiarkan ibunya berbicara terus. “Nah, jangan pergi nak, jangan nak”, ujar ibunya lagi dengan nada lemah resah.” Tidak lama kemudian sebaliknya Amatpun mulai membujuk ibunya. “Bu, karena itulah aku pergi bu. Karena cinta kasihku kepada ibu. Aku tidak tega mengalami kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan ibu. “Aku akan mencoba mengadu untung di perantauan, Aku akan berhemat dan membawanya pulang.” “Jika aku pulang nanti dapat menguntaikan sebuah kalung berharga di leher ibu, melekatkan cincin di jari ibu, gelang dan pakaian lainnya yang indah-indah”.
“Bu, izinkanlah Amat pergi, hanya untuk sementara waktu. Aku pasti akan kembali jika nyawa masih di badan”. Amat terus mendesak ibunya dengan bujukan. “Bu, izinkanlah bu! Berilah kepadaku doa restu”, mohon Amat dengan suara lemah “Tidak ada apa-apa yang kuminta dari ibu sebagai bekal, hanya izin ibu yang ikhlas serta doa restu, semoga kita tetap dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa”. Lama kelamaan luluhlah hati ibu si Amat, Ia tidak ingin mengecewakan anaknya. “Anakku, baiklah permintaanmu ibu kabulkan”. Suatu pernyataan hati yang tulus, pendek dan sederhana. Lalu Amat memeluk ibunya erat-erat, sebagai tanda gembira dan bahagia yang tak terungkapkan.
Tersebar kembali kabar di kampung Pasie, bahwa Amat akan segera berangkat. Kawan-kawannya datang ke rumahnya dan duduk-duduk berkelompok di bawah pohon kelapa di luar kampung berbincang-bincang tentang keberangkatan Amat dan kemungkinan nasib di perantauan. Di antara mereka sambil bergurau berkata: “Mat, jika engkau beruntung menjadi orang kaya kelak, jangan lupa kepada kami ya!”. “Ah, mana mungkin Amat ingat kita lagi. kata yang lain pula. “Ha Ha ha !”, mereka semua tertawa”. Betulkah begitu, Mat?” tanya yang lain pula. “Insya Allah tidak akan kulupakan kalian, jawab Amat.. “Justru aku pergi untuk kebahagian ibuku. Kaliankan tahu kehidupanku berserta ibuku sekarang lebih melarat dari kalian semua”.
Tibalah keesokan harinya saat kapal yang ditumpangi Amat akan berangkat menuju Sabang. Pak Agam menyuruh Amat mempersiapkan apa yang perlu. Mulailah dipersiapkan bekal untuk Amat. Beberapa potong pakaian bertambal yang menurut kadar ibu Amat masih bagus dikumpulkan dan dibungkus lalu ibu menasehatinya Nyak, rajinlah beribadah di sana, rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup di negeri orang harus membawa bekal ilmu dan akhlak dari asalmu. Janganlah mereka mengubahmu tapi tularkan kebaikan pada mereka”.. “Anakku, hanya nasehat itulah yang dapat ibu berikan sebagai bekalmu.
Ingatlah bahwa nasehat itu jika diindahkan dan dilaksanakan mana yang perlu adalah sama dengan mukjizat. Jika tidak diindahkan dan tidak dilaksanakan akan menjadi sebilah pedang yang akan memotong leher sendiri. Camkanlah semua nasehat ibu itu”. Setelah berhenti sejenak ibu Amat ujarnya kemudian sambil mengulurkan isi genggamannya. “Anakku”, Bawalah rencong ini besertamu. Satu-satunya benda berharga milik bapakmu, warisan dari kakekmu. Rencong ini bukan untuk menyerang orang dalam perbuatan jahat, tetapi untuk membela dirimu terhadap siapapun yang berkhianat kepadamu. Amat mengulurkan kedua tangannya dengan gemetar menerima benda itu. “Nasehat ibu akan kuingat dan kupatuhi selamanya”. Lalu bercucuranlah air mata keduanya.
Keesokan harinya setelah terompet kapal berbunyi sekali, ketika Amat yang menyandang bungkusan beserta ibunya tiba di pelabuhan. Pak Agam dengan ramah menyongsong mereka. Ia memberi petunjuk kepada Amat bagaimana naik ke kapal dan memberi tahukan agar segera naik. Terjadilah perpisahan yang tak tertuliskan betapa harunya antara Amat dengan ibunya. Terakhir kelihatan Amat memeluk kaki ibunya. Terompet kedua, terompet ketiga berbunyi. Kapal perlahanlahan bergerak maju. Amat melambaikan tangannya dengan lesu dari geladak. Ibunya beserta Pak Agam membalasnya demikian juga dari dermaga. Dalam hati ibunya berdoa semoga anaknya lekas kembali.
Ketika di kapal pekerjaan yang diberikan nahkoda kapal itu hanya yang ringan saja dan Amat bebas kesana kemari, karena ia tidak bermaksud memberikan pekerjaan yang berat kepada Amat. Ia hanya tertarik kepada cita-cita Amat yang demikian luhur, lalu ia ingin membantunya. Pakaian yang diganti Amat sama seperti awak kapal lainnya. Kelihatan agak kebesaran sedikit karena memang Amat masih terlalu muda, umurnya pada waktu itu kira-kira lima belas tahun. Karena sifatnya yang ramahnya Amat cepat menyesuaikan diri dengan awak kapal lainnya. Semua mereka memanggil adik kepadanya, kecuali hanya Nakhoda sendiri yang memanggilnya Amat.
Sampailah di mana suatu ketika kapal berlabuh ke Pulau Pinang dengan Penangnya dan merupakan salah satu kota pelabuhan besar di Selat Malaka, di sana ramai sekali. Pada suatu kesempatan menjelang kapal merapat ke dermaga Amat merasa terkejut mendapat tepukan di kedua bahunya dari belakang.  Lalu nahkoda bertanya “Apakah kau senang dalam pelayaran tadi, Mat?”. “Senang sekali tuan dan pengalaman saya yang pertama, jawab Amat. “Di pelabuhan ini kita agak lama berhenti, karena keluarga saya tinggal di kota ini. Engkau sewaktu-waktu boleh turun melihat keadaan di pelabuhan dan kota.” “Terima kasih Tuan”.
Lalu Amat tertarik dan ingin tinggal di kota ini nakhoda menepati janjinya dahulu bahwa Amat boleh turun di mana saja di tempat yang diinginkannya. Bahkan nakhoda yang baik itu menambah nasehat-nasehat, kemudian Amat sangat berterima kasih atas semua kebaikannya. Sepeninggal kapal, Amat berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya dari hari ke hari. hingga Amat menyadari bagaimana pahitnya di rantau orang, lalu sampai suatu ketika ia bekerja di sebuah warung makan dengan upah hanya sekedar dapat makan saja. Dari sinilah Amat bertemu dengan salah seorang pengusaha perkebunan karet besar.
 Kemudian ia diterima bekerja di rumahnya yang besar dan megah sebagai tukang kebun, karena tuannya sering sibuk mengatur pekerjaan buruh-buruh di kebun, Amat sering disuruh membantu pelayan lainnya di toko kain milik tuannya itu sendiri. Sampai Amat membeli sebuah toko di kota itu, dan seketika ia menjadi orang kaya bahkan dagangnya sangat laris. Kemudian ia melanjutkan usahanya dengan membeli sebuah kapal dagang yang besar. Amat berusaha mempelajari seluk beluk kapal itu, bahkan ia sudah mampu menjadi nakhoda. Dengan demikian apa yang dicita-citakannya di kampung Pasie dahulu sudah terwujut, bukan lagi berupa impian belaka.
Kini Amat benar-benar dewasa. Amat menikah dengan seorang gadis anak bangsawan di Pulau Pinang ia sangat...cantik berbudi baik pula. Benar-benar pasangan yang serasi lahir dan bathin, upacara persemian perkawinannya sangat meriah dalam waktu tujuh hari tujuh malam pesta poratidak sepi-sepinya mendapat kunjungan dan jabatan tangan ucapan selamat dan berbahagia dari semua handai tolan, kenalan serta sanak famili di Pulau Pinang. Saat-saat bersejarah demikian ini tidak dilewatkan begitu saja oleh sepasang Linto Baroe dan Dara Baroe ini. Tidak terasa telah dua puluh tahun sudah Amat merantau.
Satu hal yang masih sangat merisaukan hati Amat, ia teringat telah meninggalkan ibunya di kampung Pasie Aceh. Berkali-kali Amat merencanakan kembali menjenguk ibunya, bahkan sejak Amat belum berumah tangga, tetapi tetap ada-ada saja hal yang menggagalkan. Kini rasanya takkan ada lagi yang menjadi penghambat. Semuanya sudah ada padanya. Kapalnya lebih dari mampu berlayar ke pelabuhan Krueng Raya di Aceh dekat kampungnya Pasie. Isterinyapun sudah berkali-kali menanyakan soal orangtua Amat, tetapi hanya Amat berkata supaya isterinya bersabar, suatu waktu kelak pasti berjumpa dengan mertuanya.
Suatu ketika tibalah saat yang baik. Amat memutuskan untuk menjenguk sekaligus menjemput ibunya. Pada mulanya Amat bermaksud pergi sendiri, tetapi isterinya berkeinginan keras ikut bersama. Ingin segera berjumpa dengan mertuanya dan ingin melihat dari dekat kampung halaman tempat tumpah darah suaminya yang tercinta. Mereka pergi bersama... Kian dekat dengan tempat tujuan, hati Amat kian berdebar-kebar. Bagaimanakah nasib ibunya setelah dua puluh tahun ditinggalkan. Adakah perubahan-perubahan di pelabuhan dan kampungnya? Masih adakah orang yang mengenalnya, dalam pakaian dan tugasnya di kapal itu sebagai nakhoda?. Semua yang dirisaukan Amat tidak akan terjawab sebelum sampai di tempat yang dituju. Hanya hatinya yang semakin berdebar-debar, seirama dengan semakin dekat dan jelasnya daratan.
Ketika jangkar dibuang, kapal berlabuh agak jauh dari dermaga. Mata Amat langsung ke tempat sekitar. Perahu-perahu masih seperti dahulu. Di sana-sini di daratan tidak banyak perubahan. Bangunan lama bertambah tua. Ada beberapa bangunan baru. Tetapi belum dapat menandai seorangpun di antara mereka di pelabuhan. Pak Agam yang dulu belum terlihat oleh Amat. Apakah masih bekerja di pelabuhan ataukah sudah berhenti karena tuanya. Amat masih dapat menandai tempat terakhir bersama ibunya dan Pak Agam di pelabuhan itu dulu. Semuanya terbayang kembali dengan jelas di benak Amat. Seakan-akan kejadian dua puluh tahun yang lalu baru kemarin terjadi.
Kemudian dari seorang ke seorang tersebar kabar sampai ke kampung Pasie, bahwa Amat sudah kembali. Kabar itu segera pula sampai ke telinga ibunya. Tak dapat dilukiskan betapa gembiranya ibu tersebut. Seakan-akan sudah kembali semua semangatnya, terobat pulih kembali semua penderitaan selama ditinggalkan Amat buah hatinya. Tak sabar ibu itu menunggu, ingin segera memeluk anaknya. Tak banyak ia berharap, kecuali agar Amat segera kembali kepangkuannya. Amat, anaknya yang dahulu pergi merantau ke negeri orang, kini telah kembali.
Dengan kelesuan tubuhnya karena tua, tertatih-tatih ibu itu berusaha berjalan ke pelabuhan. Di tengah perjalanan ia banyak bertemu dengan orang-orang dari pelabuhan. Hampir semua mereka meneriakan sambil jalan: “Bu ! Amat sudah pulang.” Hanya dibalas oleh ibu itu dengan senyum bahagia dengan mulutnya yang sudah keriput. Kapal merapat, Amat mendahului turun ke dermaga menandakan ia tidak asing di daerah itu. Tujuannya yang utama ke kantor Mungkin akan menanyakan hal ibunya. Hiruk pikuk di sekitarnya tidak dihiraukannya.
Tiba-tiba: ada yang menyebut namanya, Amat menatap ke depan, beberapa langkah di hadapan Amat, kelihatan seorang perempuan tua, ditelitinya perempuan tua itu dari kepala sampai ke kaki. Rambutnya ubanan, wajahnya keriput, matanya keputih-putihan, kelihatannya sudah agak rabun, sudut-sudut mulutnya merah lelehan sirih yang dikunyah, pakaiannya compang-camping, badannya bungkuk, bertekenan pada sebuah tongkat. Anakku!!” kata ibu itu sambil mengulurkan tangan kanannya memeluk Amat. Dalam hati Amat menyadari benar-benar ia sedang berhadapan dengan ibunya sendiri.
Lalu Amat menoleh sejenak ke kapal dan sekitarnya. Dilihatnya isterinya sedang datang mendekat. Awak-awak kapal dan sebahagian besar orang-orang dipelabuhan mengarahkan pandangan ke tempatnya. Tiba-tiba seperti halilintar disiang bolong Amat berteriak keras-keras ‘Tidak, tidak! Ini bukan ibuku!” “Akulah ibumu, nak!. Ibu merasa gembira dan bahagia sekali, engkau kembali. Peluklah aku nak!” ‘Tidak! Engkau bukan ibuku, engkau adalah pengemis tengik dan busuk ibuku tidak begini rupanya! Amat enggan mengakui perempuan tua itu ibunya, karena takut dicemoohkan oleh isterinya dan anak buahnya di kapal.
Kemudian Amat berpikir, kalau mereka tahu ini ibunya, tentu mereka akan mengatakan bahwa Tuan Amat yang kaya raya itu adalah seorang keturunan rakyat jelata yang melarat, tidak pantas memperisterikan seorang perempuan turunan bangsawan. Karena itu Amat mengingkari kenyataan yang sebenarnya. “Anakku, akulah ibumu nak, Akulah yang melahirkanmu. Air susu ibu inilah yang membesarkanmu. Marilah kita pulang ke rumah, nak!” “Barangkali benar pengakuan orang tua ini, bang!” kata isterinya. “tidak! Ini bukan ibuku.
Ini pengemis tua yang tidak tahu malu pergi, pergi dari sini”. “Anakku, ibunya mendekat maju ingin meraih Amat”. ‘Tidak! Jangan dekati aku. Aku nakhoda baru datang ke mari” . “Anakku, aku ibumu nak. Suaramu masih dapat kutandai. Suara Amat, anakku!” Ibu itu maju mendekat terus mengulurkan tangan seakanakan meraba-raba hendak menjamah wajah anaknya. “Hai bedebah!” Amat menendang perempuan tua ini sampai jatuh terjungkir, tongkatnya terpelanting.
Kemudian Amat menarik tangan isterinya lari dan naik ke kapal serta memanggil semua awak kapalnya dan berteriak memberi perintah supaya kapalnya segera berlayar meninggalkan pelabuhan itu. Kemudian ibu itu dengan susah payah berusaha bangun dan duduk bersimpuh. Lalu menadahkan tangan, dan mengadahkan muka ke langit, berdoa: “Ya Tuhanku, aku yakin dia adalah anakku. Aku bermohon kepadaMu, berilah kesadaran yang sebenarnya kepadanya!” Tuhan adil. Selesai berdoa, tiba-tiba saja turunlah badai, hujan sangat lebat disertai angin kencang.
Lalu semuanya jadi panik mencari tempat berlindung. Kapal-kapal seperti sabut, terombang-ambing kesana kemari dihempaskan ombak sebesar gunung. Kemudian dari arah Laut sayup-sayup kedengaran teriakan pilu: “Ibu , Ibu ! Aku anakmu, ibu! “Maafkan aku ibu Ibu !” beberapa kali didengarnya. Kemudian terikan itu hilang ditelan deru hujan angin dan ombak, dan dalam sekajap Amad, istrinya, pengawalnya dan seluruh harta bendanya termasuk kapalnya berubah menjadi sebuah batu sebesar kapal.
Itulah kisah asal mula kapal Amat Rhang Manyang, Kapal Amat si anak Durhaka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SOAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 11.  Surat Apakah di dalam al-Qur’an yang menerangkan tentang keesaan Allah swt? a.     al-‘Ashr b. ...