Asal
Muasal Kapal Amat Rhang Manyang
Sebuah
Cerita Lagenda Rakyat Aceh Besar
Oleh: NISA KHAIRUNI
NIM: 271523742
Kisah
ini di mulai dari sebuah Kampung Pasie, yang berdekatan dengan Paya Senara
daerah Krueng Raya, Lamreh Aceh Besar, di pantai
Ujong Batee Kapai Amat Rhang Manyang, Nanggore Aceh Darussalam. Pada
zaman dahulu di desa inilah hidup sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak laki-laki, anak laki-laki ini sering dipanggil Agam (dalam istiadat
Aceh, panggilan Agam merupakan panggilan untuk anak laki-laki) dialah yang
bernama Amat.
Mereka merupakan keluarga yang sangat miskin,
pekerjaan sehari-harinya adalah mengolah sabut dan garam. Menurut cerita orang desa “keureuna buet ayah si Amat lage ̀e nyan rupa,
ureueng nyan udep lam gasien sab(e)’. Breueh nyang na di rumoh cit se ́p keu
siuroe pajo ̂h. Ija ngo ̈n baje ̀e geungui ka be ́h beukah hingga ka peunoh ngo
̈n seunampai”. Selain itu dalam sebuah syair juga dikisahkan mengenai makanan
yang sehari-hari di makan oleh si Amat yaitu “boh manok siblah, kuah o ̂n muro
̂ng...”
Kendatipun mereka adalah keluaga yang sangat miskin kasih
sayang kedua orang tua si Amat selalu tercurah kepadanya, sebab ia adalah anak
tunggal satu-satunya. Mereka selalu ingin memberikan kecukupan untuk anak mereka,
sebagaimana kebanyakan anak-anak orang lain. Tetapi, apa hendak dikata, maksud
hati ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai. berbagai usaha
lain sudah dicoba oleh bapak si Amat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik bagi keluarganya, tetapi tetap tidak berhasil.
Mereka yang tidak memiliki modal apapun kecuali tenaga dan
kemauan. Dalam keadaan seperti inilah orang tuanya selalu memasrahkan diri
kepada Allah. Setiap selesai shalat, mereka selalu berdoa setidaknya untuk
anaknya, “Ya Allah berikanlah kehidupan
yang lebih layak untuk si Amat, sehingga ia dapat dijadikan payung saat hujan,
kayu rimbun tempat berteduh bagi kami di hari tua”. Namun hal itu tidak dapat
dirasakan, malah ketika Amat berumur lima tahun, bapaknya meninggal dunia,
sehingga tinggalah si Amat dan ibunya.
Ketika bapak si Amat meninggal, ia tidak meninggalkan warisan
sekalipun kecuali sebuah gubuk tireh (bocor), rencong beserta anaknya si Amat yang
perutnya setiap hari harus di isi. Kemudian segumpal cita-cita dan doa untuk
kebahagiaan mereka di kemudian hari. Di penghujung tangis yang berkepanjangan
karena iman dan taqwa, maka timbullah kembali kesadaran bahwa semua itu adalah
takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga bulatlah tekat dan cita-cita
untuk tetap berusaha dengan kemampuan yang ada.
Kemudian Amat diserahkan
kepada Teungku Meunasah untuk belajar mengaji bersama anak-anak yang lainnya di
kampung tersebut. Pada dasarnya, ia anak yang rajin dan pandai, serta cepat
tanggap. Namun ketika Amat mengaji ia sering dihina oleh teman-temannya karena
pakaiannya compang-camping penuh tambalan, ia pun menangis sambil ia pulang ke
rumah. Ketika Ibunya mengetahui semua kejadian ini, ibunya berusaha untuk
tersenyum kemudian si ibu memeluk dan
mengusap air mata anaknya.
Menjelang tidur malam hari, ibu menjelaskan mengenai balasan
dari Allah, misalnya mengenai sifat tidak baik, pada akhirnya akan mendapatkan
balasan yang tidak baik pula. Ibu sering juga mendongengkan sesuatu diantaranya
dongeng anak durhaka yang pada akhir ceritanya dapat malapetaka. Semua cerita
itu diharapkan ibunya, agar dapat dihayati si Amat sebagai contoh bahwa
perilaku yang baik tidak bergantung terhadap pakaian yang baik atau buruk,
hingga akhirnya ia lelap. Kemudian dari hari ke hari, dari tahun ketahun Amat
menjadi remaja.
Ketika ia Remaja ia membantu ibunya dengan segenap tenaga
yang ada padanya, namun walaupun begitu kehidupan mereka tidak banyak berubah,
masih tergolong miskin dan melarat. hingga sampai pada suatu hari Amat dan
kawan-kawannya pergi kesebuah pelabuhan samudera atau pelabuhan besar yang
terletak di Krueng Raya pelabuhan merupakan tempat mengirimkan barang
dengan hasil daerah Aceh ke luar negeri, tempat ini juga memasukkan
barang-barang dagangan dari luar negeri untuk kebutuhan rakyat. Diantaranya ada
yang bentuk kapalnya indah sekali, inilah yang dilihat setiap hari oleh Amat
dan kawan-kawannya di pelabuhan.
Hal inilah yang mereka selalu berbicarakan dan mereka
menceritakan kepada kawan-kawan yang lain dikampungnya, bahkan ada di antara
mereka menceritakan kepada orang tua. Berbeda dari yang lain, Amat tidak hanya
ikut-ikutan bercerita, namun lambat laun menyusup ke hati sanubarinya keinginan
untuk menjadi nahkoda atau kelasi, jika keinginannya tercapai tentu kehidupan
bersama ibunya akan berubah menjadi lebih baik. Keinginannya ini tidak pernah
diceritakannya kepada siapapun, tidak juga kepada ibunya.
Sampai-sampai Amat sering pada malam harinya tidak dapat
tertidur lelap. Bayangan dan keinginannya menjadi nahkoda atau kelasi selalu
menggodanya. Ia akan mengharungi lautan luas. menjelajahi berbagai negeri.
Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan diperjalanan tentu ia akan
pulang ke kampungnya dan akan membawa oleh-oleh kesenangan ibunya, bahkan lebih
dari itu, ibunya akan menyambutnya dengan kasih mesra di ambang pintu.
Pada suatu hari di pelabuhan Amat berusaha dan memberanikan
diri menemui seorang pegawai pelabuhan, orang kampungnya sendiri yang ia kenal
baik hati yang dipanggil dengan panggilan Pak Agam. Kebetulan Pak Agam keluar
daerah pelabuhan hendak sembahyang dhuhur di Mesjid tidak jauh dari pelabuhan.
Keadaan di pelabuhan agak sepi. Pekerja-pekerjanya sebahagian besar sedang
istirahat dan makan siang. Diantaranya ada yang sedang melaksanakan shalat
dhuhur juga. Amat menghampiri Pak Agam dengan hati berdebar dan ragu-ragu.
Lalu dengan sikap hormat Amat menyapanya: Pak Agam !” Langkah
Pak Agam tertegun, sambil menoleh ke arahnya “Kau Amat, ada apa nak ?” Amat
lebih mendekat. Hampir seperti berbisik seakan-akan gagap Amat menyampaikan
maksudnya. “A. ...Anu Pak ! Sa...Saya ingin ikut salah satu kapal itu”, sambil
menunjuk ke pelabuhan dan menandakan kapal. ,,Ha, H a....Ha! Pak Agam tertawa
terbahak-bahak, mana mungkin nak, tentu kamu tidak mampu membayar ongkos”.
Karena mendapat layanan dalam percakapan itu, Amat menjadi
lebih berani dan lancar mengeluarkan suaranya. “Maksud saya Pak, saya ingin
bekerja pada kapal itu”. “Wah, Menurut bapak umurmu masih terlalu muda nak,
kamu belum mampu bekerja berat di kapal.” Amat terdiam dan merasa kecewa.
“Bapak mau sembahyang dulu”, kata Pak Agam, lalu iapun meninggalkan Amat yang
masih tegak terpaku.
Sejak saat itu Amat menjadi pemurung. Sudah jarang ia bersama
kawan-kawannya, begitu juga dengan ibunya di rumah tidak lagi sebijak biasa.
Sikapnya menjadi lamban. Dalam mengaji sering salah, di hadapan kawan-kawannya
ia berusaha berbuat seperti biasa, tetapi seperti dipaksakannya. Teuku Meunasah
gurunya mengaji, kawan-kawan serta ibunya di rumah merasa heran, mengapa Amat
akhir-akhir ini banyak berubah. Tidak seorangpun tahu sebab musabab kemurungan
Amat. Waktu tidur ia selalu gelisah.
Ketika pertemuannya yang pertama Pak Agam merasa kasihan jika
anak semuda itu harus bekerja berat di kapal. Tetapi Pak Agam kagum sekali
terhadap cita-citanya yang sudah demikian tinggi dalam usia semuda itu.
Terbayang di benak Pak Agam kehidupan keluarga Amat sejak dulu. Apa lagi
setelah Amat menjadi yatim serta ibunya tetap janda. Kehidupan keluarganya
menjadi lebih sulit lagi. Kemudian pak Agam mempertimbangkan permintaan anak
itu, mungkin permintaan anak itu justru menjadi permulaan untuk memperbaiki
kehidupan beserta ibunya.
Setelah itu secara diam-diam Pak Agam berusaha memenuhi
keinginan Amat. Namun ada kesangsiannya terutama kalau tidak ada nakhoda yang
mau menerimanya, karena umur Amat masih terlalu muda. Suatu petang Amat
dikejutkan oleh panggilan Pak Agam : “Mat, mari dulu !” Amat menghampiri Pak
Agam setengah berlari. “Ikut Bapak !” Lalu Amat diperkenalkan oleh Pak Agam
kepada seorang nakhoda yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang
temannya dalam sebuah kamar di kantor pelabuhan.
Kemudian dengan langkah tertegun-tegun dan muka sedikit pucat
Amat memasuki ruangan itu. Orang-orang di luar kantor memperhatikan Amat masuk
dengan penuh tanda tanya. “Inilah anak yang kumaksudkan kemarin, kata Pak Agam
memulai pembicaraannya.”Hm”, sambil mendesis nakhoda memperhatikan Amat dari
ujung rambut sampai ke ujung jari-jari kakinya yang telanjang. Nakhoda menilai,
dari raut muka Amat adalah anak baik, jujur dan keras hati. Perawakannya cukup
tampan. Ketika itu Amat merasa malu, kepalanya menunduk.
Kemudian terjadilah tanya jawab dan percakapan antara
nakhoda, Amat dan Pak Agam, yang pada pokoknya berkisar pada kehidupan keluarga
Amat beserta ibunya sampai kepada keinginannya bekerja di kapal. “Kalau
maksudmu benar-benar hendak membantu ibumu aku bersedia menerimamu bekerja di
kapal, dan kamu boleh turun ke darat, di daerah yang disinggahi kapalku, kata
nakhoda. Seperti meledak rasanya dada Amat, karena sangat gembira. Ia berkali-kali
mengucapkan terima kasih. Pak Agam juga merasa gembira dan bahagia usahanya
membantu Amat berhasil dan tersenyum seakan-akan tak habis-habisnya.
Lalu Amat segera menyampaikan halnya kepada ibunya. Ibunya
terkejut sekali, mengapa selama ini tidak pernah diceritakannya. Ibunya
membujuk agar Amat membatalkan maksudnya. “Amat, anakku, bagaimana ibu dapat
melepasmu?; haruskah
Ananda merantau meninggalkan ibumu disini sendiri, dalam kesepian dan dalam
kepapaan?; “engkaulah anakku satu-satunya. Engkaulah tempatku
bergantung di hari tua. Tidak ada sanak famili yang mau mengasuh ibu yang
melarat ini!”. Sambil memeluk Amat ibunya menyampaikan keluhannya dengan kata
tersendat-sendat dan air mata bercucuran.
Amatpun demikian pula menangis sejadi-jadinya dan membiarkan
ibunya berbicara terus. “Nah, jangan pergi nak, jangan nak”, ujar ibunya lagi
dengan nada lemah resah.” Tidak lama kemudian sebaliknya Amatpun mulai membujuk
ibunya. “Bu, karena itulah aku pergi bu. Karena cinta kasihku kepada ibu. Aku
tidak tega mengalami kehidupan begini sampai ibu tua. Aku ingin membahagiakan
ibu. “Aku akan mencoba mengadu untung di perantauan, Aku akan berhemat dan
membawanya pulang.” “Jika aku pulang nanti dapat menguntaikan sebuah kalung
berharga di leher ibu, melekatkan cincin di jari ibu, gelang dan pakaian
lainnya yang indah-indah”.
“Bu, izinkanlah Amat pergi, hanya untuk sementara waktu. Aku
pasti akan kembali jika nyawa masih di badan”. Amat terus mendesak ibunya
dengan bujukan. “Bu, izinkanlah bu! Berilah kepadaku doa restu”, mohon Amat
dengan suara lemah “Tidak ada apa-apa yang kuminta dari ibu sebagai bekal,
hanya izin ibu yang ikhlas serta doa restu, semoga kita tetap dalam lindungan
Tuhan Yang Maha Esa”. Lama kelamaan luluhlah hati ibu si Amat, Ia tidak ingin
mengecewakan anaknya. “Anakku, baiklah permintaanmu ibu kabulkan”. Suatu
pernyataan hati yang tulus, pendek dan sederhana. Lalu Amat memeluk ibunya
erat-erat, sebagai tanda gembira dan bahagia yang tak terungkapkan.
Tersebar kembali kabar di kampung Pasie, bahwa Amat akan
segera berangkat. Kawan-kawannya datang ke rumahnya dan duduk-duduk berkelompok
di bawah pohon kelapa di luar kampung berbincang-bincang tentang keberangkatan
Amat dan kemungkinan nasib di perantauan. Di antara mereka sambil bergurau
berkata: “Mat, jika engkau beruntung menjadi orang kaya kelak, jangan lupa
kepada kami ya!”. “Ah, mana mungkin Amat ingat kita lagi. kata yang lain pula.
“Ha Ha ha !”, mereka semua tertawa”. Betulkah begitu, Mat?” tanya yang lain
pula. “Insya Allah tidak akan kulupakan kalian, jawab Amat.. “Justru aku pergi
untuk kebahagian ibuku. Kaliankan tahu kehidupanku berserta ibuku sekarang
lebih melarat dari kalian semua”.
Tibalah keesokan harinya saat kapal yang ditumpangi Amat akan
berangkat menuju Sabang. Pak Agam menyuruh Amat mempersiapkan apa yang perlu. Mulailah
dipersiapkan bekal untuk Amat. Beberapa potong pakaian bertambal yang menurut
kadar ibu Amat masih bagus dikumpulkan dan dibungkus lalu ibu menasehatinya “Nyak, rajinlah beribadah di sana,
rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup di negeri orang harus
membawa bekal ilmu dan akhlak dari asalmu. Janganlah mereka mengubahmu tapi tularkan
kebaikan pada mereka”.. “Anakku, hanya
nasehat itulah yang dapat ibu berikan sebagai bekalmu.
Ingatlah bahwa nasehat itu jika diindahkan dan dilaksanakan
mana yang perlu adalah sama dengan mukjizat. Jika tidak diindahkan dan tidak
dilaksanakan akan menjadi sebilah pedang yang akan memotong leher sendiri. Camkanlah
semua nasehat ibu itu”. Setelah berhenti sejenak ibu Amat ujarnya kemudian
sambil mengulurkan isi genggamannya. “Anakku”, Bawalah rencong ini besertamu.
Satu-satunya benda berharga milik bapakmu, warisan dari kakekmu. Rencong ini
bukan untuk menyerang orang dalam perbuatan jahat, tetapi untuk membela dirimu
terhadap siapapun yang berkhianat kepadamu. Amat mengulurkan kedua tangannya
dengan gemetar menerima benda itu. “Nasehat ibu akan kuingat dan kupatuhi
selamanya”. Lalu bercucuranlah air mata keduanya.
Keesokan harinya setelah terompet kapal berbunyi sekali,
ketika Amat yang menyandang bungkusan beserta ibunya tiba di pelabuhan. Pak
Agam dengan ramah menyongsong mereka. Ia memberi petunjuk kepada Amat bagaimana
naik ke kapal dan memberi tahukan agar segera naik. Terjadilah perpisahan yang
tak tertuliskan betapa harunya antara Amat dengan ibunya. Terakhir kelihatan
Amat memeluk kaki ibunya. Terompet kedua, terompet ketiga berbunyi. Kapal
perlahanlahan bergerak maju. Amat melambaikan tangannya dengan lesu dari
geladak. Ibunya beserta Pak Agam membalasnya demikian juga dari dermaga. Dalam
hati ibunya berdoa semoga anaknya lekas kembali.
Ketika di kapal pekerjaan yang diberikan nahkoda kapal itu
hanya yang ringan saja dan Amat bebas kesana kemari, karena ia tidak bermaksud
memberikan pekerjaan yang berat kepada Amat. Ia hanya tertarik kepada cita-cita
Amat yang demikian luhur, lalu ia ingin membantunya. Pakaian yang diganti Amat
sama seperti awak kapal lainnya. Kelihatan agak kebesaran sedikit karena memang
Amat masih terlalu muda, umurnya pada waktu itu kira-kira lima belas tahun.
Karena sifatnya yang ramahnya Amat cepat menyesuaikan diri dengan awak kapal
lainnya. Semua mereka memanggil adik kepadanya, kecuali hanya Nakhoda sendiri
yang memanggilnya Amat.
Sampailah di mana suatu ketika kapal berlabuh ke Pulau Pinang
dengan Penangnya dan merupakan salah satu kota pelabuhan besar di Selat Malaka,
di sana ramai sekali. Pada suatu kesempatan menjelang kapal merapat ke dermaga
Amat merasa terkejut mendapat tepukan di kedua bahunya dari belakang. Lalu nahkoda bertanya “Apakah kau senang
dalam pelayaran tadi, Mat?”. “Senang sekali tuan dan pengalaman saya yang
pertama, jawab Amat. “Di pelabuhan ini kita agak lama berhenti, karena keluarga
saya tinggal di kota ini. Engkau sewaktu-waktu boleh turun melihat keadaan di
pelabuhan dan kota.” “Terima kasih Tuan”.
Lalu Amat tertarik dan ingin tinggal di kota ini nakhoda
menepati janjinya dahulu bahwa Amat boleh turun di mana saja di tempat yang
diinginkannya. Bahkan nakhoda yang baik itu menambah nasehat-nasehat, kemudian
Amat sangat berterima kasih atas semua kebaikannya. Sepeninggal kapal, Amat
berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya dari hari ke hari. hingga
Amat menyadari bagaimana pahitnya di rantau orang, lalu sampai suatu ketika ia bekerja
di sebuah warung makan dengan upah hanya sekedar dapat makan saja. Dari sinilah
Amat bertemu dengan salah seorang pengusaha perkebunan karet besar.
Kemudian ia diterima
bekerja di rumahnya yang besar dan megah sebagai tukang kebun, karena tuannya sering
sibuk mengatur pekerjaan buruh-buruh di kebun, Amat sering disuruh membantu
pelayan lainnya di toko kain milik tuannya itu sendiri. Sampai Amat membeli
sebuah toko di kota itu, dan seketika ia menjadi orang kaya bahkan dagangnya
sangat laris. Kemudian ia melanjutkan usahanya dengan membeli sebuah kapal
dagang yang besar. Amat berusaha mempelajari seluk beluk kapal itu, bahkan ia
sudah mampu menjadi nakhoda. Dengan demikian apa yang dicita-citakannya di
kampung Pasie dahulu sudah terwujut, bukan lagi berupa impian belaka.
Kini Amat benar-benar dewasa. Amat menikah dengan seorang
gadis anak bangsawan di Pulau Pinang ia sangat...cantik berbudi baik pula.
Benar-benar pasangan yang serasi lahir dan bathin, upacara persemian perkawinannya
sangat meriah dalam waktu tujuh hari tujuh malam pesta poratidak sepi-sepinya
mendapat kunjungan dan jabatan tangan ucapan selamat dan berbahagia dari semua
handai tolan, kenalan serta sanak famili di Pulau Pinang. Saat-saat bersejarah
demikian ini tidak dilewatkan begitu saja oleh sepasang Linto Baroe dan Dara
Baroe ini. Tidak terasa telah dua puluh tahun sudah Amat merantau.
Satu hal yang masih sangat merisaukan hati Amat, ia teringat
telah meninggalkan ibunya di kampung Pasie Aceh. Berkali-kali Amat merencanakan
kembali menjenguk ibunya, bahkan sejak Amat belum berumah tangga, tetapi tetap
ada-ada saja hal yang menggagalkan. Kini rasanya takkan ada lagi yang menjadi
penghambat. Semuanya sudah ada padanya. Kapalnya lebih dari mampu berlayar ke
pelabuhan Krueng Raya di Aceh dekat kampungnya Pasie. Isterinyapun sudah
berkali-kali menanyakan soal orangtua Amat, tetapi hanya Amat berkata supaya
isterinya bersabar, suatu waktu kelak pasti berjumpa dengan mertuanya.
Suatu ketika tibalah saat yang baik. Amat memutuskan untuk
menjenguk sekaligus menjemput ibunya. Pada mulanya Amat bermaksud pergi
sendiri, tetapi isterinya berkeinginan keras ikut bersama. Ingin segera
berjumpa dengan mertuanya dan ingin melihat dari dekat kampung halaman tempat
tumpah darah suaminya yang tercinta. Mereka pergi bersama... Kian dekat dengan
tempat tujuan, hati Amat kian berdebar-kebar. Bagaimanakah nasib ibunya setelah
dua puluh tahun ditinggalkan. Adakah perubahan-perubahan di pelabuhan dan
kampungnya? Masih adakah orang yang mengenalnya, dalam pakaian dan tugasnya di
kapal itu sebagai nakhoda?. Semua yang dirisaukan Amat tidak akan terjawab
sebelum sampai di tempat yang dituju. Hanya hatinya yang semakin berdebar-debar,
seirama dengan semakin dekat dan jelasnya daratan.
Ketika jangkar dibuang, kapal berlabuh agak jauh dari
dermaga. Mata Amat langsung ke tempat sekitar. Perahu-perahu masih seperti
dahulu. Di sana-sini di daratan tidak banyak perubahan. Bangunan lama bertambah
tua. Ada beberapa bangunan baru. Tetapi belum dapat menandai seorangpun di antara
mereka di pelabuhan. Pak Agam yang dulu belum terlihat oleh Amat. Apakah masih
bekerja di pelabuhan ataukah sudah berhenti karena tuanya. Amat masih dapat
menandai tempat terakhir bersama ibunya dan Pak Agam di pelabuhan itu dulu.
Semuanya terbayang kembali dengan jelas di benak Amat. Seakan-akan kejadian dua
puluh tahun yang lalu baru kemarin terjadi.
Kemudian dari seorang ke seorang tersebar kabar sampai ke
kampung Pasie, bahwa Amat sudah kembali. Kabar itu segera pula sampai ke
telinga ibunya. Tak dapat dilukiskan betapa gembiranya ibu tersebut.
Seakan-akan sudah kembali semua semangatnya, terobat pulih kembali semua
penderitaan selama ditinggalkan Amat buah hatinya. Tak sabar ibu itu menunggu,
ingin segera memeluk anaknya. Tak banyak ia berharap, kecuali agar Amat segera
kembali kepangkuannya. Amat, anaknya yang dahulu pergi merantau ke negeri
orang, kini telah kembali.
Dengan kelesuan tubuhnya karena tua, tertatih-tatih ibu itu
berusaha berjalan ke pelabuhan. Di tengah perjalanan ia banyak bertemu dengan
orang-orang dari pelabuhan. Hampir semua mereka meneriakan sambil jalan: “Bu !
Amat sudah pulang.” Hanya dibalas oleh ibu itu dengan senyum bahagia dengan
mulutnya yang sudah keriput. Kapal merapat, Amat mendahului turun ke dermaga
menandakan ia tidak asing di daerah itu. Tujuannya yang utama ke kantor Mungkin
akan menanyakan hal ibunya. Hiruk pikuk di sekitarnya tidak dihiraukannya.
Tiba-tiba: ada yang menyebut namanya, Amat menatap ke depan,
beberapa langkah di hadapan Amat, kelihatan seorang perempuan tua, ditelitinya
perempuan tua itu dari kepala sampai ke kaki. Rambutnya ubanan, wajahnya
keriput, matanya keputih-putihan, kelihatannya sudah agak rabun, sudut-sudut
mulutnya merah lelehan sirih yang dikunyah, pakaiannya compang-camping,
badannya bungkuk, bertekenan pada sebuah tongkat. Anakku!!” kata ibu itu sambil
mengulurkan tangan kanannya memeluk Amat. Dalam hati Amat menyadari benar-benar
ia sedang berhadapan dengan ibunya sendiri.
Lalu Amat menoleh sejenak ke kapal dan sekitarnya. Dilihatnya
isterinya sedang datang mendekat. Awak-awak kapal dan sebahagian besar
orang-orang dipelabuhan mengarahkan pandangan ke tempatnya. Tiba-tiba seperti
halilintar disiang bolong Amat berteriak keras-keras ‘Tidak, tidak! Ini bukan
ibuku!” “Akulah ibumu, nak!. Ibu merasa gembira dan bahagia sekali, engkau
kembali. Peluklah aku nak!” ‘Tidak! Engkau bukan ibuku, engkau adalah pengemis tengik
dan busuk ibuku tidak begini rupanya! Amat enggan mengakui perempuan tua itu
ibunya, karena takut dicemoohkan oleh isterinya dan anak buahnya di kapal.
Kemudian Amat berpikir, kalau mereka tahu ini ibunya, tentu
mereka akan mengatakan bahwa Tuan Amat yang kaya raya itu adalah seorang
keturunan rakyat jelata yang melarat, tidak pantas memperisterikan seorang
perempuan turunan bangsawan. Karena itu Amat mengingkari kenyataan yang
sebenarnya. “Anakku, akulah ibumu nak, Akulah yang melahirkanmu. Air susu ibu
inilah yang membesarkanmu. Marilah kita pulang ke rumah, nak!” “Barangkali
benar pengakuan orang tua ini, bang!” kata isterinya. “tidak! Ini bukan ibuku.
Ini pengemis tua yang tidak tahu malu pergi, pergi dari
sini”. “Anakku, ibunya mendekat maju ingin meraih Amat”. ‘Tidak! Jangan dekati
aku. Aku nakhoda baru datang ke mari” . “Anakku, aku ibumu nak. Suaramu
masih dapat kutandai. Suara Amat, anakku!” Ibu itu maju mendekat terus
mengulurkan tangan seakanakan meraba-raba hendak menjamah wajah anaknya. “Hai
bedebah!” Amat menendang perempuan tua ini sampai jatuh terjungkir, tongkatnya
terpelanting.
Kemudian Amat menarik tangan isterinya lari dan naik ke kapal
serta memanggil semua awak kapalnya dan berteriak memberi perintah supaya
kapalnya segera berlayar meninggalkan pelabuhan itu. Kemudian ibu itu dengan
susah payah berusaha bangun dan duduk bersimpuh. Lalu menadahkan tangan, dan
mengadahkan muka ke langit, berdoa: “Ya Tuhanku, aku yakin dia adalah anakku.
Aku bermohon kepadaMu, berilah kesadaran yang sebenarnya kepadanya!” Tuhan
adil. Selesai berdoa, tiba-tiba saja turunlah badai, hujan sangat lebat
disertai angin kencang.
Lalu semuanya jadi panik mencari tempat berlindung.
Kapal-kapal seperti sabut, terombang-ambing kesana kemari dihempaskan ombak
sebesar gunung. Kemudian dari arah Laut sayup-sayup kedengaran teriakan pilu:
“Ibu , Ibu ! Aku anakmu, ibu! “Maafkan aku ibu Ibu !” beberapa kali
didengarnya. Kemudian terikan itu hilang ditelan deru hujan angin dan ombak, dan
dalam sekajap Amad, istrinya, pengawalnya dan seluruh harta
bendanya termasuk kapalnya berubah menjadi sebuah
batu sebesar kapal.
Itulah kisah asal mula kapal Amat Rhang Manyang, Kapal Amat si
anak Durhaka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar