OPTIMALISASI FUNGSI
MASJID
SEBAGAI SARANA
PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP PEMECAHAN
KRISIS SPIRITUAL DAN MORAL REMAJA DI KOTA BANDA ACEH
A.
Latar Belakang
Masjid berasal dari akar kata “sajada-yasjudu-sujudan” yang mengandung arti tunduk dan patuh, maka hakikat dari masjid
adalah tempat melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan kepatuhan kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, masjid dapat diartikan lebih jauh, bukan hanya
sebagai tempat shalat dan berwudhu, akan tetapi juga sebagai tempat melaksanakan
segala aktivitas kaum muslimin yang berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah
SWT.[1]
Hal ini
disebutkan dalam kitab suci
Al-Qur’an pada surat At-Taubah ayat 18:
$yJ¯RÎ) ãßJ÷èt yÉf»|¡tB «!$# ô`tB ÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# tP$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# óOs9ur |·øs wÎ) ©!$# ( #|¤yèsù y7Í´¯»s9'ré& br& (#qçRqä3t z`ÏB úïÏtFôgßJø9$# .
Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah,
Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk”.[2]
Berdasarkan
uraian di atas masjid merupakan tempat ibadah multi fungsi. Masjid bukanlah
tempat ibadah yang dikhususkan untuk shalat dan i’tikaf semata. Masjid menjadi
pusat kegiatan positif kaum muslimin dan bermanfaat bagi umat. Dari sanalah
seharusnya kaum muslimin merancang masa depannya, baik dari segi agama,
ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan serta seluruh sendi kehidupan,
sebagaimana para pendahulunya memfungsikan masjid secara maksimal.[3]
Hal ini sebagaimana yang telah difungsikan pendahulu
pada masa Rasulullah SAW, masjid digunakan sebagai sarana untuk menyelenggarakan pendidikan Islam yaitu sebagai pusat pengemblengan umat Islam untuk menjadi pribadi yang
tangguh dan mulia.[4]
Selanjutnya seiring perkembanganya masjid menjadi tempat menghimpun kekuatan
umat Islam baik dari fisik maupun mentalnya.[5]
Sebagaimana dalam sejarah Islam masjid merupakan
madrasah pertama setelah Dar Al-Arqam bin Al-Arqam.[6] Dewasa ini masjid juga merupakan salah satu sarana untuk
menyelenggarakan pendidikan Islam, yang lebih dikenal dengan pendidikan
nonformal.[7]
Selain itu masjid memiliki fungsi yang sangat signifikan dalam mempersiapkan
masyarakat, khususnya generasi muda atau remaja menjadi generasi yang mandiri
dan berkarakter.[8]
Remaja sendiri merupakan aset
terbesar di dalam masyarakat dan negara, remaja juga tulang punggung di dalam
generasi manusia karena remaja dapat mengubah segala sesuatu yang ada di dalam
kehidupan, namun sayang sekali orang tidak banyak melihat hal itu, seharusnya
di era globalisasi sekarang ini, tentu banyak sekali yang diperpsiapkan
diantaranya remaja yang baik, yaitu remaja yang dapat menggunakan segala yang
ada di dalam dirinya untuk kepentingan seluruh manusia.
Oleh karena itu masjid harus mempunyai kegiatan-kegiatan yang dapat
menarik perhatian masyarakat yang berada di sekitar masjid terutama para
remaja. sehingga dengan adanya beberapa kegiatan tersebut dapat mengoptimalisasikan fungsi masjid sebagai sarana pendidikan Islam dan dapat
menjadi solusi terhadap pemecahan krisis spiritual dan moral remaja yang
terjadi dewasa ini terutama di Kota Banda Aceh.
Dewasa ini berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di Kota Banda Aceh, masalah moral
para remaja merupakan permasalahan yang harus ditangani secara serius, gambaran
beragam persoalan pada anak-anak dan remaja di lingkungan sekitar masjid yang
menginjak usia remaja yaitu menyangkut masalah penyimpangan moral akibat
pengaruh media massa, seperti acara-acara televisi yang berbau kekerasan, dan
lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman awal di kota
Banda Aceh mengenai krisis moral dikalangan
remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan
dilingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga, contoh sangat simple dalam
hal ini antara lain; pencurian oleh remaja, perkelahian di kalangan siswa yang
kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, menganggu wanita
dijalan, perbuatan-perbuatan lain yang tercela seperti merokok, pergaulan
bebas, mengedarkan pornografi dan corat-coret tembok pagar yang tidak pada
tempatnya.[9] Krisis moral di kalangan remaja dalam pendidikan juga
dapat dilihat pada media masa Tribunnews Serambi Indonesia seperti pergaulan
bebas, Free sex, ancaman pornografi, hamil di luar nikah, dan lain sebagainya.[10]
Penyimpangan prilaku dikalangan
remaja juga dikemukakan oleh Illiza Sa'aduddin
Djamal, Wakil Wali Kota Banda Aceh yang dikutip oleh Nidia Zuraya bahwa setelah bencana tsunami
pada 2004, Aceh menjadi daerah terbuka, akibatnya pergaulan bebas kalangan
remaja terutama seks bebas di Kota Banda Aceh kini memprihatinkan, sehingga
dibutuhkan peran masyarakat untuk melakukan gerakan pencegahan.[11]
Berdasarkan beberapa persoalan yang
dihadapi para remaja, remaja perlu mendapatkan tempat dan perhatian dari
berbagai elemen masyarakat salah satunya berasal dari pengurus masjid (ta’mir
masjid) yaitu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik dan
bermanfaat bagi masyarakat kususnya remaja seperti belajar ilmu tauhid dan ilmu
akhlak, diskusi, adanya binaan remaja, bakti sosial, game-game yang
dapat meningkatkan rasa solidaritas yang tinggi, diadakan kultum bergilir dari
masyarakat kususnya remaja, serta memberikan contoh langsung untuk memiliki
moral yang baik, akan tetapi bila diamati sebagian besar masjid di daerah Banda Aceh dewasa ini,
maka akan banyak ironi yang terlihat, banyak masjid tampak megah tetapi sepi
dari aktivitas.
Melalui kegiatan-kegiatan yang
menarik yang dilasanakan oleh pengurus masjid (ta’mir) maka dapat
mengoptimalkan fungsi masjid terutama terhadap pemecahan krisis
spiritual dan moral remaja yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan permasalahan di atas maka kajian ini terkait dengan
optimalisasi fungsi masjid sebagai sarana pendidikan islam terhadap
pemecahan krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda Aceh menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam karya ilmiah yang
berjudul “Optimalisasi Fungsi Masjid Sebagai Sarana Pendidikan Islam
Terhadap Pemecahan Krisis Spiritual dan Moral Remaja di Kota Banda Aceh”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Masjid dalam Islam?
2. Bagaimana optimalisasi masjid sebagai sarana pendidikan di kota Banda Aceh?
3. Bagaimana pengaruh optimalisasi masjid
sebagai sarana pendidikan dalam mengatasi krisis spiritual dan moral remaja di
Kota Banda Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui kedudukan masjid dalam Islam;
2. Untuk mengetahui optimalisasi masjid sebagai sarana pendidikan di kota
Banda Aceh;
3. Untuk mengetahui pengaruh optimalisasi masjid sebagai sarana pendidikan dalam mengatasi
krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda Aceh.
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk
menambah khazanah pengetahuan mengenai optimalisasi fungsi masjid sebagai sarana pendidikan dalam mengatasi
krisis spiritual dan moral remaja khususnya di kota Banda Aceh;
2.
Bagi
Pengurus Masjid (Ta’mir)
Penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengoptimalisasikan fungsi
Masjid sebagai sarana Pendidikan Islam
terhadap pemecahan krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda Aceh.
3.
Bagi
Peneliti
Penelitian
ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman.
4.
Bagi
remaja
Penelitian ini
dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengoptimalisasikan fungsi masjid
sebagai sarana Pendidikan Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah spiritual dan moral
remaja, khususnya di Kota Banda Aceh.
E. Definisi Oprasional
1. Optimalisasi Fungsi Masjid
Optimalisasi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata optimal yang artinya
terbaik atau tertinggi. Mengoptimakan berarti menjadikan paling baik atau
paling tinggi, sedangkan optimalisasi adalah proses pengoptimalan sesuatu
menjadi paling baik atau paling tinggi. Maka optimalisasi adalah sesuatu atau
proses memaksimalkan sesuatu menjadi lebih bak dari yang sebelumnya.[12]
Adapun masjid merupakan
tempat beribadah umat Islam, akan tetapi Masjid bukan hanya tempat untuk shalat
saja, dapat juga dipergunakan untuk kepentingan sosial misalnya tempat belajar.[13]
sebagaimana yang telah dimanfaatkan sebagai kegiatan sosial pada masa
Rasulullah SAW.[14]
Dewasa ini masjid telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam
bentuk bangunan maupun fungsinya, sehingga
masjid memiliki fungsi dan peran yang semakin terasa penting dalam kehidupan
umat Islam pada masa sekarang. di antara fungsinya sebagai berikut:
a.
Tempat
beribadah
b.
Tempat
menuntut ilmu
c.
Tempat
pembinaan umat
d.
Pusat
dakwah dan kebudayah
Maka, berdasarkan uraian di atas yang dimaksud optimalisasi fungsi masjid
oleh penulis ialah memaksimalkan atau menggunakan masjid lebih baik dari yang
sebelumya sebagai sarana pendidikan Islam sebagaimana telah di fungsikan oleh
pendahulu pada masa Rasulullah SAW, dan ini dapat menjadi salah satu solusi
untuk mengatasi krisis spiritual dan moral remaja
khususnya di Kota Banda Aceh.
2.
Sarana
Pendidikan Islam
Sarana
di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan segala sesuatu yang dapat
dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan, alat, media.[16]
Secara etimologi sarana adalah alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan,
misalnya ruang, buku, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya.[17]
Adapun
Pendidikan Islam menurut Arifin ialah studi tentang proses kependidikan yang
bersifat progresif menuju ke arah ke arah kemampuan optimal anak didik yang
berlangsung di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.[18]
Kemudian achmadi juga memaparkan pengertian pendidikan Islam bahwa segala usaha
untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia
yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma Islam.[19]
Sarana
pendidikan Islam yang dimaksud penulis ialah masjid yang digunakan dengan cara
yang lebih baik dari sebelumnya dengan tujuan untuk mengatasi krisis spiritual dan moral remaja
khususnya di Kota Banda Aceh.
3.
Krisis Spiritual dan Moral
Krisis di dalam kamus umum bahasa Indonesia diartikan sebagai kemelut atau keadaan
yang genting.[20]
Maka dengan adanya suatu krisis, perlu adanya solusi sebagai jalan keluar agar
krisis tersebut dapat diatasi.
Adapun kata “spiritual” merupakan
bentuk derivansi dari kata “spirit”, dalam bahasa Inggris, “spirit” berarti a person’s
mind atau person’s soul. Kemudian spiritual berarti human spirit
atau human saoul atau not physical things. Spiritual dalam bahasa
diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan (rohani atau
batin).[21]
Moral
itu senditi berasal dari bahasa latin yaitu “mores” yang berasal dari suku kata
“mos”. Mores berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang
kemudian artinya berkembang menjadi sebagai
kebiasan bertingkah laku yang baik, susila. moratola berarti yang
mengenai kesusilaan (kesopanan, sopan satu, keadaban) oarang yang nsusila
adalah orang yang baik budi bahasanya.[22]
Adapun
yang dimaksud dengan krisis spiritual dan moral ialah kemelut atau keadaan yang genting yang dialami oleh remaja berhubungan dengan kejiwaan (rohani atau
batin) dan kebiasan bertingkah laku, sehingga perlu adanya solusi sebagai jalan keluar agar
krisis spritual dan moral dapat diatasi.
4.
Remaja
Remaja
adalah individu yang berkembang dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Remaja
berasal bahasa latin adolescere yang berarti berkembang menuju
kedewasaan. Masa remaja berarti tahap kehidupan yang berlangsung antara masa
kanak-kanak (Chidhood) dan masa dewasa (adulthood).[23]
Masa
remaja adalah periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju kewewasaan.
Kedewasaan yang dimaksud adalah kematangan dalam hal fisik, emosi, sosial,
intelektual, dan spiritual. Rentang usia individu sebagai remaja berbeda-beda. [24]
Menurut
papalia yang dikutip dalam jurnal provitae masa remaja berusia antara 11 tahun
sampai dengan 20 tahun, sedangkan menurut sarwono yang dikutip dalam jurnal provitae usia remaja berkisar 13
sampai dengan 19 tahun, namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesia adalah
individu yang berusia antara 11 tahun sampai 24 tahun dan belum menikah.[25]
Adapun
remaja yang dimaksud penulis ialah individu yang berkembang dari masa
kanak-kanak menuju kedewasaan dan berusia antara 11 tahun sampai dengan 24
tahun.
F.
Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari terjadinya
duplikasi penelitian, baik dari buku ataupun hasil penelitian lain perlu
penulis tegaskan beberapa tulisan terdahulu sebagai berikut:
1.
Muhsinah
Ibrahim dengan judul Pendayagunaan Mesjid dan Menasah Sebagai Lembaga
Pembinaan Dakwah Islamiyah, yang dimuat dalam Jurnal Al-Bayan disimpulkan
bahwa masjid dan meunasah ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana ibadah
semata, tetapi juga merupakan pusat segala kegiatan sosial kemasyarakatan dan
lebih jauh lagi masjid dan meunasah merupakan sentral segala kegiatan umat atau
sering dikenal dengan Islamic Center. Hal ini terbukti dengan
difungsikan masjid dan meunasah sebagai tempat ibadah ritual dan pengajaran
pendidikan Islam, masjid dan meunasah juga berfungsi sebagai sosial
kemasyarakatan seperti silaturrahmi untuk memperkuat persaudaraan, tempat
pengumpulan zakat, infaq dan sedekah, tempat penyelesaian sengketa, lembaga
solidaritas dan bantuan kemanusiaan, juga tempat pembinaan dan pengembangan
kader-kader pemimpin umat Islam. Masjid dan Meunasah merupakan lembaga pertama
dalam membangun sebuah komunitas masyarakat Islam di Aceh pada masa lalu dan
sekarang, sehingga Pendidikan Islam sejak dari awalnya telah mengambil sikap
bahwa masjid dan meunasah sebagai salah satu tempat untuk melatih anak didik
yang sedemikian rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, dan pendekatannya
dalam segala jenis pengetahuan banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual
dan sangat sadar akan nilai etika Islam.[26]
2.
Muhsinah
Ibrahim, dengan judul Dayah, Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan dan
Lembaga Dakwah di Aceh, yang dimuat dalam Jurnal Al-Bayan disimpulkan bahwa
Dayah merupakan institusi pendidikan Islam dan lembaga dakwah tertua di Aceh
yang telah banyak menyumbangkan tenaga dan pemikirannya dalam membangun peradaban
Islam di Aceh, begitu juga dengan Masjid dan Meunasah merupakan lembaga pertama
dalam membangun sebuah komunitas masyarakat Islam. Di Aceh Masjid dan Meunasah
pada masa lalu dan sekarang multifungsi, bahkan menjadi Islamic Center. Dengan
kata lain, pembangunan Masjid merupakan upaya pembangunan komunitas dan
peradaban Islam yang terus menerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain berfungsi sebagai tempat ibadah ritual dan pengajaran pendidikan Islam,
Masjid dan Meunasah juga berfungsi sebagai sosial kemasyarakatan seperti
silaturrahmi untuk memperkuat persaudaraan, tempat pengumpulan zakat, infaq dan
sedekah, tempat penyelesaian sengketa, lembaga solidaritas dan bantuan
kemanusiaan, juga tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader dakwah yang
kemudian menjadi pemimpin umat Islam. Pendidikan Islam sejak dari awalnya telah
mengambil sikap bahwa dayah, masjid dan meunasah sebagai tempat untuk melatih
anak didik yang sedemikian rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, dan
pendekatannya dalam segala jenis pengetahuan banyak dipengaruhi oleh
nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etika Islam.[27]
3.
Fathurrahman,
dengan judul Masjid Sebagai Pusat Pendidikan Islam Masa Klasik, yang
dimuat dalam Jurnal Ilmiah kreatif disimpulkan bahwa tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga pendidikan islam sejak masa klasik hingga masa modern tidak
dapat dilepaskan dari sejarah masjid sebagai institusi awal dalam pendidikan
islam klasik. Sebagai institusi pertama yang dibangun untuk mendidik umat setelah
hijrah ke madinah, nabi menjadikan masjid sebagai basis utama lahirnya
peradaban madani. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah namun juga
menjalani fungsi sosial, budaya, politik dan keamanan. Di masjid inilah
pendidikan agama dalam bentuk yang paling dasar diberikan dan berkembang
menjadi pusat kajian [28]beragam
keilmuan Islam dengan pengajar dari para sahabat utama dengan sistem pengajaran
halaqah yang berkembang hingga sekarang pada pondok pesantren modern. Pesatnya
perkembangan zaman mengakibatkan masjid bertransformasi menjadi madrasah dan
mengakibatkan fungsi masjid direduksi menjadi tempat ibadah semata. Upaya
mengembalikan fungsi dan peran masjid sebagai pusat peradaban pada masa modern
kembali marak dilakukan dengan harapan munculnya peradaban baru yang berbasis
pada masjid.[29]
4.
Ruspita
Rani Pertiwi, dengan judul Manajemen Dakwah Berbasis Masjid, yang dimuat
dalam Jurnal MD disimpulkan bahwa fungsi dan peran masjid sangat ideal sebagai
pusat kegiatan dakwah seperti telah dituntunkan Al-Qur'an dan ditauladankan
Rasulullah SAW (1); Keprihatinan bahwa potensi masjid baik dalam segi kuantitas
(jumlah dan kedekatan secara fisik dengan masyarakat) maupun kualitas
(terdapatnya tokoh kharismatik, terdapat personil yang perduli kepada agama dan
umatnya, tempat berkumpul berbagai elemen masyarakat) belum teraktualkan secara
optimal sebagai pusat pengembangan dakwah (2), tulisan ini mengkaji tema
mengembalikan fungsi masjid sebagai basis manajemen dakwah. Aktualisasinya
melalui tiga level perbaikan dan pengembangan manajemen masjid dalam level
mikro (penataan manajemen tiap masjid), level messo (bagaimana mendesain
kegiatan masjid yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya), dan level makro
(bagaimana membuat networking atau kerjasama antar masjid).[30]
Uraian
di atas merupakan kajian penelitian terdahulu, hal ini dilakukan agar terhindar
dari terjadinya duplikasi penelitian.
G.
Kerangka Teori
Berdasarkan teori mengenai optimalisasi fungsi masjid sebagai sarana
pendidikan yang telah dipaparkan di atas, maka untuk lebih jelas dapat dilihat
skema kerangka teori yang telah disedehanakan berikut ini:
|
Sprritual
Remaja
|
|
MASJID SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN UMAT
1.
Tempat
beribadah;
2.
Belajar
ilmu tauhid;
3.
Belajar
ilmu akhlak;
4.
Diskusi
mengenai pendidikan;
5.
Adanya
binaan remaja;
6.
Bakti
sosial;
7.
Game-game yang dapat meningkatkan
rasa solidaritas yang tinggi;
8.
Diadakan
kultum bergilir;
9.
Memberikan
contoh moral yang baik.
|
|
Moral Remaja
|
|
Pemerintah
|
|
Masayarkat
|
Gambar 1: Skema Kerangka Teori
H.
Metode Penelitian
1.
Desain
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
karena penelitian ini didasarkan atas data-data yang dikumpulkan dari
lapangan, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis data kualitatif. Penelitian kualitatif “merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku yang dapat diamati”.[31]
Penelitian kualitatif juga termasuk penelitian yang menggambarkan, mengungkapkan,
dan menjelaskan gejala (fenomena) yang terjadi dilapangan.[32]
2.
Populasi
dan Sampel
Desain sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik
bertujuan. Tehnik ini juga populer dengan sebutan purposive sampling. Purposive
sampling yaitu “sampel bertujuan dengan memilih anggota populasi tertentu
saja untuk dijadikan sampel. Purposive sampling adalah “teknik
pengambilan sumber data berdasarkan pertimbangan tertentu, pertimbangan ini dibuat
berdasarkan tujuan riset serta mencermati sifat atau ciri populasi yang sudah
diketahui sebelumnya”.[33]
Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui optimalisasi fungsi masjid sebagai sarana Pendidikan Islam terhadap
pemecahan krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda Aceh. Maka,
wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara langsung dengan para informan
yaitu dengan 3 pengurus masjid, 3 guru pengajar pengajian, 3 remaja masjid, dan
6 remaja jamaah pengajian, yang ada di Banda Aceh. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa pengumpulan data dalam penelitian, peneliti
menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian setelah
data-data terkumpul maka data tersebut dianalisis.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data pada karya ini dikumpulkan melalui
karya literatur lain (sumber skunder), dan data primer. Data primer adalah data
yang di dapat dari individu atau perseorangan melalui wawancara (interview)
yang bisa dilakukan oleh peneliti”.[34]
Data primer merupakan hal yang sangat pokok dalam pembahasan sebuah
permasalahan dan sebuah penelitian. Dengan demikian, yang menjadi data primer
dalam penelitian ini adalah hasil observasi dan wawancara dengan pengurus
mesjid dan remaja mesjid.
a)
Wawancara
adalah teknik pengumpulan data dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan
langsung kepada informan atau menanyakan beberapa pertanyaan secara tidak
terstuktur kepada informan yang dilakukan secara terarah dan mendalam. Tujuan Wawancara
ini untuk memperoleh gambaran mengenai optimalisasi fungsi
masjid sebagai sarana Pendidikan Islam terhadap pemecahan krisis spiritual dan
moral remaja di Kota Banda Aceh. Wawancra ini dilakukan dengan para informan yaitu dengan 3 pengurus masjid, 3 guru pengajar
pengajian, 3 remaja masjid, dan 6 remaja jamaah pengajian, yang ada di Banda
Aceh
b)
Observasi
adalah alat pengumpulan data yang dapat dilakukan secara spontan dan dapat pula
dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelunya. Teknik observasi ini
digunakan untuk mengamati optimalisasi fungsi
masjid sebagai sarana Pendidikan Islam terhadap pemecahan krisis spiritual dan
moral remaja di Kota Banda Aceh. Aspek yang akan diamati dalam penelitian ini
adalah kegiatan-kegiatan yang diadakan di masjid, remaja masjid, guru pengajar pengajian..
c)
Dokumentasi
merupakan data yang didapat dengan mengkaji dokumen/kepustakan dan untuk
memperkuat data-data yang diperoleh dari analisis dengan berpedoman kepada data
tertulis yang terkait dengan objek penelitian baik berupa buku, jurnal dan
dokumen serta berbagai literatur lainnya yang relevan.
4.
Teknik
Analisis data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan dalam
unit-unit, melakukan sintesis, menyusun dalam pola, memilih yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri
sendiri maupun orang lain.[35]
Adapun pendekatan yang digunakan dalam metode analisis data yaitu
dengan menggunakan metode induktif, proses induktif ini diterapkan berdasarkan
data-data yang telah terkumpul melalui wawancara, observasi, dan penyimpulan
dari hasil data tersebut.[36]
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa data dianalisis
melalui hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi, serta menggunakan metode
induktif untuk menganalisis data.
H.
Sistematika Penulisan
Untuk
memudahkan pemahaman pemahaman, penulisan karya ilmiah berupa tesis ini dibagi
lima bab yaitu:
Bab
I, merupakan bab pendahuluan, yang mengkaji tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan kajian terdahulu, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab
II, membahas tentang landasan teori, menguraikan tentang kedudukan dan fungsi
mesjid dalam Islam, optimalisasi mesjid sebagai sarana pendidikan di Kota Banda Aceh, serta pengaruh optimalisasi masjid sebagai sarana
pendidikan dalam mengatasi krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda
Aceh.
Bab III, membahas tentang metode penelitian yang
meliputi jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik
analisa data, serta sistematika pembahsan dalam tesis ini.
Bab
IV, membahas tentang hasil penelitian dan pembahasan meliputi kedudukan dan
fungsi mesjid dalam Islam, optimalisasi mesjid sebagai sarana pendidikan di Kota Banda Aceh, serta pengaruh optimalisasi masjid sebagai sarana
pendidikan dalam mengatasi krisis spiritual dan moral remaja di Kota Banda
Aceh.
Bab
V, bab ini menjadi bagian terakhir dalam penulisan, yang disebut penutup, yang
disebut penutup, yang membuat kesimpulan dan saran.
I.
Daftar Pustaka
Achmadi, 2005. Ideologi
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin Syukur,
2012. Sufi Healing, Terapi dengan Model Tasawuf, Jakarta: Erlangga.
Beni Ahmad Saebani, 2013. Menejemen Penelitian, Bandung:
Pustaka Setika.
Dewi Agustina, “perilaku Menyimpang ABG Aceh Kian Memprihatinkan”, Tribunnews
Serambi Indonesia, (25 Maret 2014).
Departemen Agama RI, 2009. Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Syaamil Qur’an.
Fathurrahman, 2015. Jurnal Ilmiah “kreatif”: “Jurnal Studi
Pemikiran Pendidikan Islam”, Dayah, Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga
Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh, Vol. XII, No. 1, Januari.
Gusti Ngurah Agung, 2008. Manajemen Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Husain Umar, 2008. Metodelogi Penelitian untuk Skripsi Tesis
Bisnis, Jakarta: Grafindo Persada.
Hamid Darmadi, 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral, Bandung:
Alfabeta.
Kaelan, 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner,
Yogyakarta: paradigma.
Lina Silfia , 2013. Jurnal PAI, Peran Masjid Dalam Meningkatkan
Kualitas Pendidikan Islam (Studi Kasus di Masjid At-Taqwa Ngares,
Kadireso, Teras, Boyolali), Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lexy. J. Moelong, 2006. Metode
Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Cipta Rosda Karya.
M. Arifin, 2003. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Muhsinah Ibrahim, 2013. Jurnal Al-Bayan, Pendayagunaan Mesjid
dan Menasah Sebagai Lembaga Pembinaan Dakwah Islamiyah, Vol. 19, No. 28,
Juli-Desember.
------- , 2014. Jurnal
Al-Bayan, Dayah, Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga
Dakwah di Aceh, Vol. 21, No.30, Juli-Desember.
Nur Aisyah Handryant, 2010. Masjid sebagai Pusat Pengembangan
Masyarakat Integrasi Konsep Habluminallah Habluminannas, dan Habluminalalam,
Malang: UIN Maliki Press.
Nidia Zuraya, “Seks Bebas
Rambah Serambi Makkah”, repubika.co.id. http://republika.co.id/kanal/news/nasional, (25 Maret 2013).
Ruspita Rani Pertiwi, 2008 Jurnal MD, Manajemen
Dakwah Berbasis Masjid, Vol. 1, No. 1, Juli-Desember.
Rikard Bagun, 2009. Tuntutan Perubahan Perilaku. Jurnal Harian
Kompas(Online), (http://jakarta45.wordpress.com/category/ artikel/page/382.html, diakses tanggal 09 Juli 2016.
Siswanto, 2005. Panduan
Praktis Organisasi remaja Masjid, Jakarta: Pustaka Al-kausar.
Suharsimi Arikunto, 2002. prosedur penelitian suatu pendekatan
praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Penyusun, 1990. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.
------- , 2007. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, Jakarta, Balai Pustaka.
Veronica
Valentini dan M. Nisfiannoor, 2006. Identity Achievement dengan Intimacy
pada Remaja SMA, Jurnal Provitae, Volume 2, no.1, Mei.
Yusak
Baharuddin, 2005. Administrasi
Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia.
[1] Nur
Aisyah Handryant, Masjid sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat Integrasi
Konsep Habluminallah Habluminannas, dan Habluminalalam, (Malang: UIN Maliki
Press, 2010), hlm. 52.
[2]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Syaamil Qur’an, 2009),
hlm.189.
[3] Lina
Silfia, “Peran Masjid Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam (Studi Kasus
di Masjid At-Taqwa Ngares, Kadireso, Teras, Boyolali)”, Jurnal PAI,
(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013), hlm. 1.
[4] Ruspita Rani
Pertiwi, “Manajemen Dakwah
Berbasis Masjid”, Jurnal MD,
Vol. 1, No. 1, ( Juli-Desember, 2008), hlm. 1.
[5] Ali Jumbulati
dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, penerjemah Arifin, Terj. Dirasatun
Muqaaranatun Fit-Tarbiyatil Islamiyyah/Perbandingan Pendidikan Islam, Cet.2,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 22-23.
[6] Ali Jumbulati
dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, penerjemah Arifin, Terjemahan Dirasatun
..., hlm. 22-23.
[7] Nur
Aisyah Handryant, Masjid sebagai ..., hlm. 52.
[8]
Rikard Bagun, 2009. Tuntutan Perubahan Perilaku. Jurnal Harian Kompas (Online),
(http://jakarta45.wordpress.com/category/artikel/page/382.
html, diakses tanggal 09 Juli 2016.
[9] Hasil
Observasi Penulis di kota Banda Aceh, tanggal 22-25 Agustus 2016.
[10] Dewi Agustina,
“perilaku Menyimpang ABG Aceh Kian Memprihatinkan”, Tribunnews Serambi
Indonesia, (25 Maret 2014), hlm. 1-3.
[11] Nidia Zuraya, “Seks Bebas
Rambah Serambi Makkah”, repubika.co.id. http://republika.co.id/kanal/news/nasional, (25 Maret
2013), diakses tanggal 22 Agustus 2016.
[12] Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), hlm. 682.
[13] Siswanto, Panduan
Praktis Organisasi remaja Masjid, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2005), hlm.
23.
[14]
Siswanto, Panduan Praktis...,
hlm. 26.
[15]
Siswanto, Panduan Praktis ..., hlm. 23-27.
[16] Tim penyusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Ed. 3, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007), hlm. 999.
[17] Yusak
Baharuddin, Administrasi Pendidikan,
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm.76.
[18] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.4.
[19] Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29.
[21] Amin Syukur, Sufi
Healing, Terapi dengan Model Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm.43.
[22] Hamid Darmadi,
Dasar Konsep Pendidikan Moral, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 50.
[23] Veronica
Valentini dan M. Nisfiannoor, Identity Achievement dengan Intimacy pada
Remaja SMA, Jurnal Provitae, Volume 2, No. 1, Mei 2006, hlm. 6.
[24] Veronica
Valentini dan M. Nisfiannoor, Identity Achievement ..., hlm. 6.
[25] Veronica
Valentini dan M. Nisfiannoor, Identity Achievement ..., hlm. 6.
[26] Muhsinah
Ibrahim, Jurnal Al-Bayan, Pendayagunaan Mesjid dan Menasah Sebagai Lembaga
Pembinaan Dakwah Islamiyah, Vol. 19, No. 28, Juli-Desember 2013, hlm.
81-94.
[27] Muhsinah
Ibrahim, Jurnal Al-Bayan, Dayah, Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan
dan Lembaga Dakwah di Aceh, Vol. 21, No.30, Juli-Desember 2014, hlm. 21-34.
[29] Fathurrahman,
Jurnal Ilmiah kreatif: “Jurnal Studi Pemikiran Pendidikan Islam”, Dayah,
Mesjid, Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan dan Lembaga Dakwah di Aceh, Vol.
XII, No. 1, Januari 2015, hlm.1-12.
[30] Ruspita Rani
Pertiwi, Jurnal MD, Manajemen Dakwah Berbasis Masjid, Vol. 1, No.1,
Juli-Desember 2008, hlm. 53-75.
[31] Lexy. J.
Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Cipta Rosda
Karya, 2006), hlm.4
[32] Gusti Ngurah Agung,
Manajemen Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 26.
[33] Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), hlm. 133.
[34] Husain Umar, Metodelogi
Penelitian untuk Skripsi Tesis Bisnis, (Jakarta: Grafindo Persada, 2008),
hlm.12.
[35] Beni Ahmad
saebani, Menejemen Penelitian, (Bandung: Pustaka Setika, 2013), hlm.
105.
[36] Kaelan, Metode
Penelitian Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: paradigma, 2012), hlm.
200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar